Saat beberapa rezim Arab terbuling sejak Januari, berbagai opsi akhir diuji, dengan Kolonel Muammar Khadafi sebagai bentuk paling dramatis dengan kematiannya pada Kamis (20/10).
“Khadafisme merupakan sejenis pemujaan,” ujar Juan Cole, professor sejarah Universitas Michigan yang menggambarkan momen terakhir di tempat kelahiran Khadafi, Sirte, sebagai tindakan fanatic. “Mereka minum Bantuan-Kolonel (Khadafi), dan mereka bertekad mati. Mereka percaya sedang melawan setan dunia (kekuatan Barat).”
Bahkan sebelum pemberontakan muncul, Saddam Hussein bertekad berjuang hingga mati. Tapi orang kuat Irak itu ditemukan bersembunyi di bawah tanah, dalam lubang sedalam enam kaki. Saddam lantas digantung pada 2006 setelah diadili.
Zine el-Abidine Ben Ali, presiden pertama Tunisia yang terguling oleh gerakan revolusi tahun ini, memilih mengasingkan diri di Arab Saudi. Ben Ali sengaja mengucilkan diri hingga kabarnya tidak terdengar sejak dia pergi dari negaranya.
Sedangkan Presiden Mesir Husni Mubarak memilih tetap berada di negaranya untuk menjalani pengadilan. Namun sosoknya kini hampir selalu diingat sebagai pesakitan yang tidur di atas ranjang di dalam kerangkeng besi di ruang pengadilan. Ini merupakan bagian dari pembelaannya bahwa dia terlalu sakit untuk mengalami penghinaan proses pengadilan.
Di antara otokrat yang masih bertahan di kekuasaan meskipun menghadapi gelombang unjuk rasa itu ialah Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Assad awalnya menunjukkan keinginan untuk konsesi, tapi segera berubah dan menolak semua bentuk kompromi dengan oposisi. Pasukan keamanannya juga dituduh menewaskan lebih dari 3.000 demonstran.
Sedangkan Saleh baru saja selamat dari sebuah serangan bom di mana dia mengalmai luka parah dan harus mendapat perawatan intensif di Arab Saudi. Tapi dia kembali lagi ke Yaman untuk melanjutkan kekuasaannya. Dia menolak mundur.
Tidak jelas, apa pelajaran yang dapat diambil, jika memang ada, terkait kejatuhan dan kematian Khadafi. Kabar kematiannya muncul tiba-tiba, meski sebelumnya dia bertekad berjuang sampai tetes darah terakhir. Rekaman video menunjukkan bagaimana Khadafi saat tertangkap masih hidup, dengan darah berlumuran di wajah dan bajunya. Tapi sesaat kemudian dia tewas oleh peluru yang bersarang di kepala dan tubuhnya.
Banyak yang memperkirakan Khadafi akan memimpin perlawanan terhadap pemberontak yang dibantu NATO selama bertahun-tahun. Atau dia mengarahkan perjuangan kontrarevolusi dari pengasingan. Tapi yang terjadi justru dia ditangkap dan dibunuh di dekat kota kelahirannya sendiri, Sirte.
“Banyak orang menduga dia akan berada di Niger atau di perbatasan, masuk dan keluar Libya,” papar Rob Malley, direktur program Timur Tengah di International Crisis Group.
Apalagi Khadafi sangat yakin dengan ajaran Islam bahwa tidak ada kemenangan lebih besar daripada mati syahid untuk memperjuangan kebenaran. Mereka yang syahid dapat langsung masuk surga.
Para ulama di Al Azhar, universitas tertua Sunni Muslim di Kairo, memperkirakan Khadafi dan para pendukungnya akan menggunakan dalil itu untuk meneruskan perlawanan terhadap Barat. Karena itu ulama Al Azhar mengeluarkan fatwa bulan ini bahwa Khadafi tidak akan mendapatkan kehormatan sebagai syahid. Karena menurut ulama Al Azhar, seorang syahid meninggal untuk membela agama dan bangsanya.
Namun tidak diragukan lagi, beberapa angota keluarganya yang masih hidup dan para pendukung Khadafi akan menganggap mantan pemimpin Libya itu sebagai syahid. Namun banyak pihak pula yang menyatakan, warisan kenangan buruk selama pemerintahannya akan dikenang dalam waktu lama setelah kematiannya.
“Saya piker sejarah Khadafi sangat hitam karenaitu sangat sulit memberikannya penghormatan apapun terkait kematiannya,” papar Mohamed el-Kheshen, professor hukum di Universitas Kairo.
Suasana di jalanan Kairo, seperti di Tripoli, Libya, dan banyak kota Arab lainnya, penuh kegembiraan dengan klakson-klakson mobil dibunyikan sepanjang malam setelah kematian Khadafi. Status di Facebook dan Twitter dipenuhi dengan komentar-komentar menanggapi kematiannya, ada pula yang menyesalkan Khadafi tewas sebelum menjalani proses pengadilan.
“Libya menghapus cerita terlucu dalam sejarah dengna bintangnya Muammar Khadafi,” salah seorang pemilik Twitter menulis di akunnya. Komentar lain muncul dari aktivis Mesir Nawara Negm, “Terima kasih Tuhan, pembunuhan merupakan cara yang harus dilakukan pada Khadafi.”
Salah satu web menampilkan gambar kartun dengna serang pria memegang cat warna merah, menulis X di atas potres Ben Ali, Mubarak, dan Khadafi. Dua orang lainnya, Presiden Saleh dan Assad, melihat ke bawah dengan ekspresi terkejut dan khawatir saat pria dengan cat itu mendekat.
Anggota parlemen Kuwait Walid al-Tabtabai menulis di Twitter, “Ben Ali melarikan diri, Mubarak dipenjara, Saleh terbakar, dan Khadafi tewas; perhatikan nasib para dictator semakin buruk setiap saat. Saya penasaran apakah nasib yang menunggu Bashar?”
Ada berbagai pertanyaan apakah kematian Khadafi akan mendorong Assad, Saleh, dan otokrat lainnya untuk menggunakan pasukan lebih besar terhadap rakyat mereka, atau akan menarik mundur pasukan. “Bagi para dictator Arab, ini menunjukkan bahwa seberapa banyak tekanan yang mereka lakukan terhadap rakyat mereka, akan ada reaksi yang seimbang, dan mereka tidka dapat bertahan selamanya,” tutur Yuseff Assad, pakar Libya dan pendukung pemberontakan di sana.
Meskipun sejumlah dictator memiliki kemirian, mereka unik sesuai lingkungan dan karakter masing-masing. Kolonel Khadafi mungkin yang paling unik dari semuanya. Meskipun Khadafi dialienasi Barat, tai dia tetap dapat memiliki banyak teman untuk menolak sanksi internasional saat masih berkuasa.
Bahkan jika Khadafi dimakamkan di mana pun, mungkin lokasinya tetap di Afrika, tempat dia memiliki banyak teman dari berbagai negara di benua itu. Di Bamako, ibu kota Mali, sebuah gedung pemeritahan menggunakan nama Kolonel Khadafi, dan semua hotel yang dimiliki rakyat Libya, memasang neon hijau raksasa di lantai paling atas.
Puncaknya, banyak yang berpikir bahwa warisan nyata kejatuhan Khadafi ialah rakyat Arab sudah berubah. “Pelajaran nyata di sini ialah ada gelombang baru politik popular di dunia Arab,” tutur Profesor Cole dari Universitas Michigan. “Rakyat tidak suka untuk hidup bersama para diktator.” (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar