Cari di Sini

Jumat, 07 Oktober 2011

10 Tahun Perang di Afghanistan

Afghanistan pada Jumat (7/10) memperingati 10 tahun perang yang dihadirkan Amerika Serikat (AS) untuk menggulingkan rezim Taliban. Satu dekade sejak pesawat-pesawat tempur NATO pimpinan AS membombardir negeri itu, ribuan nyawa melayang dan ratusan miliar dolar digelontorkan.

Pada 7 Oktober 2001, pesawat-pesawat AS menjatuhkan puluhan rudal penjelajah dan bom-bom berpemandu laser di beberapa target strategis di Kabul dan kota-kota lain di Afghanistan. Gempuran mesin-mesin perang tercanggih milik Negeri Paman Sam itu dilancarkan setelah Taliban menolak menyerahkan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden pasca serangan 11 September 2001 (9/11) di AS.

Sejak saat itu, berdasarkan data Brown University di AS, sedikitnya 33.877 orang tewas, termasuk pasukan asing dan Afghanistan, rakyat sipil, pemberontak, dan lainnya. Selama perang, 2.748 pasukan asing tewas, termasuk 1.796 tentara AS. Sedangkan Kongres AS mengatakan, Negeri Paman Sam menghabiskan sedikitnya USD450 miliar untuk mendanai perang tersebut.

Namun hingga kemarin, bunyi mesin-mesin perang AS masih menyalak garang. Selama beberapa pekan terakhir, Taliban menjadi target Operasi Kebebasan Abadi (OEF). Para pejuang Taliban terus diburu hingga terdesak di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan. Sedangkan rakyat Afghanistan dapat sedikit tersenyum merayakan tergulingnya salah satu rezim paling represif di era modern ini.

Sayangnya, Taliban juga berubah dari kelompok-kelompok pejuang yang terpecah-pecah menjadi milisi yang memiliki disiplin tinggi. Laskar yang pernah mengusir tentara Uni Soviet dari bumi Afghanistan itu terus memperbaiki sistem operasi dan jaringan yang tersebar hingga Pakistan.

Sepuluh tahun sudah berlalu, beberapa pejabat AS melihat stabilitas politik sebagai jawaban untuk menyelesaikan salah satu perang terlama dalam sejarah tersebut. Stanley McChrystal, komandan AS di Afghanistan hingga dia dipecat pada 2010, membuka pidato dalam malam peringatan 10 tahun perang itu dengan mengatakan, “Misi NATO pimpinan AS sedikit lebih baik dibandingkan separuh jalan untuk mencapai tujuan-tujuan militernya.”

“Kita tidak cukup tahun dan kita masih belum cukup tahun. AS dan aliansinya memiliki pandangan yang terlalu menyederhanakan sejarah saat ini,” papar McChrystal, seperti dikutip kantor berita AFP.

Di Afghanistan, peringatan 10 tahun situasi kelam itu berlalu tanpa acara publik oleh pemerintah Kabul ataupun NATO. Seperti halnya di garis depan pertempuran, 140.000 pasukan asing masih melakukan kegiatan normal.

Di Kabul, pejabat pemerintah meningkatkan keamanan untuk mencegah kemungkinan serangan oleh Taliban yang semakin meningkat di ibu kota. Bagi banyak rakyat Afghanistan yang menyambut perbaikan dalam kesehatan dan pemberantasan buta huruf selama satu dekade ini, mereka merenungkan apa makna perang ini bagi negara mereka dan berbagai implikasi penarikan pasukan asing pada 2014.

Hafizullah Ahmadi, 33, yang lancar berbahasa Inggris mengaku sebagai salah satu orang yang mendapat keuntungan dari berakhirnya rezim Taliban. “Dengan kedatangan AS dan aliansinya, perang dan pembunuhan berakhir di Afghanistan dan rakyat memiliki akses pada semua yang mereka inginkan, yang selama rezim Taliban mereka dilarang,” ujar pria yang bekerja sebagai penerjemah itu.

Tapi peringatan kali ini juga menegaskan kontras antara kemarahan ribuan warga sipil yang menjadi korban perang dan meluasnya korupsi dalam pemerintahan Presiden Afghanistan Hamid Karzai. “Kami akan sangat senang jika mereka (pasukan asing) pergi dari Afghanistan. Semua akan kemblai normal. AS dan aliansinya tidak melakukan tindakan baik saat mereka menginvasi (Afghanistan). Meskipun semua keadaan sulit, kami mendapat keamanan yang baik dalam pemerintahan rezim Taliban,” papar Khan Agha, 30, pedagang jalanan.

Pada malam peringatan, sekitar 200 demonstran menyerukan agar pasukan asing segera hengkang dari Afghanistan. Mereka meneriakkan “Kematian untuk Amerika”. Pengunjuk rasa membakar sebuah bendera Amerika di pusat kota Kabul.

Surat kabar Inggris, The Daily Telegraph, mengangkat tulisan mantan Duta Besar Inggris di Afghanistan Sherard Cowper-Coles yang berjudul “Satu fantasi untuk berpikir kita menang perang di Afghanistan.” Tulisannya itu menyoroti strategi Barat yang menyakitkan di Afghanistan.

Menurut Cowper-Coles, berbagai operasi militer tidak menyelesaikan masalah pemberontakan. Dia menekankan, hanya kerja keras melalui diplomasi pimpinan AS yang dapat memperbaiki berbagai kesalahan dan kelalaian pada dekade silam di Afghanistan.

“Tanpa produk politik yang kredibel yang ditawarkan, rakyat (Afghanistan) terjebak di pertempuran, tidak ada stabilitas yang tercipta. Itulah kecacatan fatal dalam keseluruhan intervensi,” tulis Cowper-Coles.

Berbagai upaya untuk memediasi perdamaian dengan Taliban tidak memberi banyak kemajuan, bahkan sebelum pembunuhan terhadap utusan damai Karzai, Burhanuddin Rabbani, pada 20 September yang menjadikan strategi pemerintah untuk memediasi perdamaian menjadi tidak menentu arah. Sejumlah pengamat khawatir negara itu dapat tergelincir dalam perang sipil yang pernah menewaskan dan mengusir ribuan orang pada 1992 hingga 1996.

Sejumlah pengamat terus mempertanyakan dalih-dalih yang digunakan AS untuk membenarkan misi perang di Afghanistan tersebut. “Waktu sudah habis untuk meninggalkan Afghanistan dalam bentuk yang dapat diterima yang akan membenarkan waktu, uang, dan nyawa yang hilang dalam perluasan misi dari kontra-terorisme menjadi pembangunan negara,” tulis Terry Pattar, konsultan senior di grup intelijen pertahanan IHS Jane.

Penarikan Pasukan 2014
Koalisi pasukan NATO pimpinan AS menjadwalkan 2014 sebagai saat penarikan mundur pasukan. Karena itu rekrutmen tentara Afghanistan terus digencarkan untuk memenuhi target pengamanan pasca penarikan pasukan.

“Saya dapat katakan pada Anda bahwa Desember 2014, mereka akan, faktanya, memiliki kemampuan untuk memimpin pengamanan di sini di Afghanistan,” papar Letnan Jenderal Bill Caldwell, komandan umum Misi Pelatihan NATO dan Kombinasi Transisi Komando Keamanan Afghanistan, seperti dikutip USA Today.

Warga Afghanistan antusias menyambut tawaran bekerja sebagai pasukan keamanan negara tersebut. “Keluarga saya ingin saya bergabung karena ini akan bagus bagi negeri kami. Seluruh teman saya bergabung dan berkata saya juga harus bergabung,” tutur Samir Khan, 18, tentara yang baru direkrut. Khan baru saja selesai berlatih menembakkan senapan M240 saat diwawancarai media lokal.

Jika Afghanistan dinilai cukup aman bagi pasukan AS untuk pergi, tentara seperti Khan akan berperan penting dalam menjaga keamanan. Bersama AS, ada pasukan dari 48 negara lainnya.

Saat ini stabilitas kawasan masih labil dan berbagai serangan teror masih terjadi. “Saat ini, Afghanistan tampak seperti berada di jalan buntu,” kata Seth Jones, pengamat di Rand Corp. dan penulis buku In the Graveyard of Empires: America's War in Afghanistan.

Jones berpendapat, situasi saat ini menunjukkan perkembangan dari beberapa tahun silam, ketika Taliban tampak berada di atas angin dan mengalami penguatan. Pasukan koalisi memang telah memukul mundur Taliban dan menekannya di wilayah perbatasan. “Tapi seberapa lama kondisi ini dapat dipertahankan?” ujarnya.

Kebangkitan Anbar

Militer AS mengklaim strategi kontrapemberontakan yang bertujuan melumpuhkan musuh, melindungi warga sipil dan membangun legitimasi pemerintahan Afghanistan, menunjukkan perkembangan. “Ada kemajuan sebenarnya, khususnya di wilayah selatan,” papar Jenderal Marinir John Allen.

Allen merupakan salah satu komandan ISAF. Di Irak, Allen membantu memimpin strategi yang meyakinkan para pemimpin suku berpengaruh untuk melawan Al Qaeda. Strategi ini kemudian dikenal sebagai “Kebangkitan Anbar.”

“Pemberontak efektif saat mereka mengakses populasi. Saat mereka dikucilkan dari populasi, pemberontak mengalami masa sangat sulit. Itulah apa yang terjadi di bagian selatan Afghansitan,” papar Allen dari Afghanistan.

Para pengamat dari beberapa lembaga yang mengamati perang, seperti American Enterprise Institute, menganggap perang menghasilkan beberapa hal positif. Salah satunya, tidak ada serangan Al Qaeda yang sukses di AS sejak 9/11. Menurut pengamat, keberhasilan ini sebagai hasil dari perang melawan terorisme di luar negeri. Pengamat mengatakan, penangkapan dan pembunuhan ratusan pemimpin Al Qaeda di Afghanistan memiliki dampak berkurangnya ancaman teror terhadap Barat.

Laporan terbaru Kementerian Pertahanan AS pada Kongres tentang Afghanistan memaparkan, penambahan pasukan ke Afghanistan yang dilakukan saat pemerintahan Presiden Barack Obama telah menghasilkan kemajuan keamanan yang dapat terlihat.

“Strategi koalisi berhasil merebut sebagian besar daerah yang menjadi persembunyian pemberontak, mengacaukan jaringan kepemimpinan mereka dan mengontrol banyak lokasi penyimpanan persenjataan dan suplai taktis di akhir musim pertempuran sebelumnya,” ungkap laporan kementerian pertahanan AS.

Fakta itu memang benar, tapi pengamat memperingatkan, kondisi tersebut dapat berubah cepat. “Dalam banyak hal, kondisi jutaan rakyat Afghanistan lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu. Peluang ekonomi terbuka. Jutaan anak kembali ke sekolah dan memiliki akses yang lebih baik untuk layanan kesehatan,” kata Vanda Felbab-Brown, pengamat dari 21st Century Defense Initiative di Brookings Institution.

“Namun ketidakamanan dan kekerasan masih ada. Kemungkinan perang sipil lainnya setelah mayoritas pasukan AS meninggalkan Afghanistan, masih terbuka lebar,” papar Felbab-Brown. (syarifudin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar