Cari di Sini

Jumat, 28 Oktober 2011

Kontrol Populasi: Apakah Ini Alat Kelompok Kaya?

Suhu sekitar 30 derajat Celsius. Kelembaban udara terasa mencekik. Bunyi bising tak tertahankan. Di sebuah pekarangan rumah, antara dua gudang pengeringan teh, beberapa wanita berkulit gelap, duduk dengan sabar. Masing-masing perempuan itu membawa sebuah karung kain yang kumal.

Mereka mengenakan kain sari yang beraneka warna, tapi wajah wanita-wanita itu terlihat letih dan lusuh. Fakta yang sungguh mengejutkan. Mereka menghabiskan sebagian besar hari di perkebunan teh terdekat, memetih daun teh yang akan ditimbang sekitar dua sen per kilo, kurang dari cukup untuk memberi makan keluarga besar mereka.

Vivek Baid berpikir dia tahu cara membantu mereka. Dia mengelola Misi untuk Kontrol Populasi, satu proyek di timur India yang bertujuan menurunkan angka kelahiran dengan mendorong wanita setempat untuk disterilisasi setelah akan kedua lahir.

Saat dunia saat ini dihuni sekitar tujuh miliar orang, beberapa orang seperti Vivek emnganggap upaya untuk menurunkan populasi global harus dilanjutkan agar kehidupan manusia di Bumi dapat berlanjut dan kemiskinan serta kelaparan massal dapat dihindari.

Tidak ada pihak manapun yang meragukan tujuan baik mereka. Vivek, misalnya, telah menggunakan uangnya sendiri dalam proyek tersebut. Dia sangat bersemangat dalam menciptakan masa depan lebih cerah bagi India.

Namun kritik yang muncul menuduh pengkampanye seperti Vivek, seorang pengusaha sukses dan kaya, memiliki kehidupan yang sangat berbeda dengan keseharian orang-orang yang ingin mereka tolong, dalam hal ini para wanita miskin tersebut.

Para pengkritik mengatakan, orang-orang kaya berusaha mengontrol populasi warga miskin selama beberapa dekade. Menurut pengkritiknya, upaya untuk mengontrol populasi dunia itu seringkali menciptakan gejolak dan seringkali menyakitkan bagi warga miskin.

Sebagian besar sejarawan yang melacak kontrol populasi modern akan menemukan akarnya pada Reverend Thomas Malthus, pendeta Inggris yang lahir pada abad ke-18 yang percaya bahwa manusia akan selalu bereproduksi lebih cepat daripada kapasitas Bumi untuk memberi makan mereka. “Memberikan pertolongan yang menghasilkan keputusasaan massal hanya akan membahayakan orang lain,” tutur Malthus. Karena itu, realitas brutalnya ialah lebih baik membiarkan mereka kelaparan.

Kemajuan pertanian yang sangat cepat pada abad ke-19 membuktikan bahwa pendapatnya salah, karena produksi pangan secara umum lebih banyak daripada pertumbuhan populasi. Tapi ide bahwa kaum kaya terancam oleh kaum miskin yang putus asa, telah menghantui abad ke-20.

Sejak 1960-an, Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan berbagai lembaga filantropi independen Amerika Serikat (AS), seperti yayasan Ford dan Rockefeller, mulai fokus pada apa yang mereka lihat sebagai masalah perkembangan jumlah Dunia Ketiga.
Mereka percaya bahwa populasi berlebihan sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, ekonomi terbelakang dan ketidakstabilan politik.

“Besarnya populasi di Dunia Ketiga dilihat sebagai ancaman bagi kapitalisme Barat dan akses menuju sumber daya alam,” papar Profesor Betsy Hartmann dari Hampshire College, Massachusetts, AS, pada BBC. “Pandangan tentang selatan itu sangat mendominasi kerangka kerja Malthusian. Ini menjadi ideologi yang kuat.”

Pada 1966, Presiden AS Lyndon Johnson memperingatkan bahwa Negeri Paman Sam mungkin dipenuhi oleh orang-orang putus asa. Dia pun menetapkan bantuan asing AS tergantung apakah negara-negara itu menerapkan program keluarga berencana (KB). Negara-negara kaya seperti Jepang, Swedia, dan Inggris, juga mulai menggelontorkan uang untuk mengurangi tingkat kelahiran bayi di Dunia Ketiga.

Kebutuhan Tak Terpenuhi

Apa yang sebenarnya disepakati semua orang ialah di sana ada tuntutan besar untuk kontrol kelahiran bagi warga termiskin di dunia. Karena itu, berbagai metode kontrasepsi diciptakan untuk menghentikan laju pertumbuhan populasi.

Namun dengan adanya berbagai manfaat, beberapa pihak menggunakan teori kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk menyoroti tekanan berlebihan dalam kontrol kelahiran dan pengabaian terhadap berbagai kebutuhan serius lainnya. “Ini solusi top-down (dari atas ke bawah),” kata Mohan Rao, dokter dan pakar kesehatan publik di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi. “Ada kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk layanan kontrasepsi, tentunya. Tapi ada juga kebutuhan tak terpenuhi untuk layanan kesehatan dan segala jenis layanan lainnya yang tidak mendapat perhatian. Fokusnya hanya pada kontrasepsi.”

“Sudahkah para pakar demografi bekerja di level akar rumput, daripada memberlakukan solusi dari atas?” ujar Adrienne Germain, mantan pekerja di Ford Foundation dan kemudian di Koalisi Kesehatan Wanita Internasional (IWHC) pada BBC. “Tidak mendapatkan layanan kesehatan yang lengkap, berarti perempuan tidak mampu menggunakan KB, atau tidak mau juga KB karena mereka masih dapat memperkirakan bahwa setengah anak-anak mereka meninggal pada usia lima tahun.”

Kita dan Mereka

Pada 1968, pakar biologi AS Paul Ehrlich membuat heboh dengan buku terlarisnya, The Population Bomb, yang menyatakan bahwa saat ini sudah terlambat untuk menyelamatkan beberapa negara dari dampak buruk kelebihan populasi, yang akan berakhir dengan adanya bencana ekologi dan kematian ratusan juta orang pada 1970-an.

Karena itu, semua negara harus berkonsentrasi dalam pengurangan pertumbuhan populasi secara drastis. Dia menyatakan, bantuan finansial harus diberikan hanya pada negara-negara yang memiliki peluang realistis menurunkan tingkat kelahiran. Bahkan kalau perlu diwajibkan untuk KB.

Pakar Barat dan elit lokal di negara berkembang segera menetapkan target-target untuk pengurangan anggota keluarga, dan menggunakan analogi militer untuk menegaskan pentingnya hal tersebut. “Mereka menyebut perang terhadap pertumbuhan populasi, berjuang dengan senjata konstrasepsi. Perang akan membutuhkan pengorbanan dan kerugian,” kata Matthew Connelly, sejarawan kontrol populasi di Columbia University, New York.

Bahasa semacam itu menunjukkan kurangnya empati terhadap subyek mereka. “Orang tidak bicara tentang manusia. Mereka bicara tentang penerima dan pengguna KB,” tutur Germain.

Langkah Darurat

Kritik terhadap kontrol populasi diungkapkan pertama kali dalam konferensi populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1974. Menteri Kesehatan India Karan Singh saat itu menegaskan, “Pembangunan merupakan kontrasepsi terbaik.”

Namun setahun kemudian, pemerintahan Singh memimpin salah satu episode paling kejam dalam sejarah kontrol populasi. Pada Juni 1975, PM India Indira Gandhi mendeklarasikan status keadaan darurat setelah tuduhan korupsi mengancam pemerintahannya. Putranya, Sanjay, menggunakan keadaan darurat untuk mengenalkan langkah-langkah kotnrol populasi radikal yang menargetkan kaum miskin.

Keadaan darurat di India berlangsung kurang dari dua tahun, tapi pada 1975 saja, sebanyak delapan juta warga India, yang sebagian besar pria miskin, disterilisasi atau dikebiri. Meski dengan adanya berbagai program dan paksaan itu, banyak wanita miskin tetap memiliki bayi.

Di India, perbedaan tingkat kelahiran bayi telah diteliti antara negara bagian utara yang miskin dan bagian selatan yang lebih maju seperti Kerala yang wanita di sana lebih terdidik dan sehat. Wanita mereka menyadari bahwa mereka dapat memiliki lebih sedikit anak dan tetap berharap melihat anak mereka tumbuh hingga dewasa.

Kontrol Total

Sekarang, fenomena ini dapat dilihat di negara lain juga. Kebijakan Satu Anak telah mencegah sekitar 400 juta kelahiran di China dan tetap diberlakukan hingga saat ini. Pada 1983 saja, lebih dari 16 juta wanita dan empat juta pria disterilisasi dan 14 juta wanita melakukan aborsi.

Dilihat dari angkanya saja, dapat dikatakan bahwa itu merupakan kontrol populasi paling sukses di dunia. Namun tetap saja menimbulkan kontroversi karena kebijakan itu menimbulkan penderitaan kemanusiaan.

Beberapa tahun setelah diterapkan, kebijakan itu sedikit dilonggarkan untuk mengijinkan pasangan di pedesaan memiliki dua anak jika anak pertama mereka bukan laki-laki. Anak laki-laki sangat dihargai, khususnya di daerah pedesaan di mana kaum pria menjadi tenaga kerja dan merawat orangtua di usia lanjut.

Namun teknologi modern membuat para orangtua dapat melihat jenis kelamin janin sehingga banyak yang memilih aborsi jika mereka mendapatkan janin perempuan. Di beberapa wilayah, sekarang ada ketidakseimbangan jumlah pria dan wanita.

Terlebih lagi, tingkat kesuburan di China menurun saat kebijakan diterapkan. Alasan ini menjadi argumen penyebab turunnya tingkat kelahiran bayi.

“Saya pikir mereka tidak ingin menurunkannya lebih jauh. Yang akan terjadi ialah angka tersebut akan tetap rendah dalam 10 tahun mendatang,” papar pakar demografi India AR Nanda pada BBC.

Pada awal 1980-an, penolakan terhadap gerakan kontrol populasi mulai berkembang, khususnya di AS. Di Washington, pemerintahan baru Reagan mencabut dukungan finansial bagi semua program yang melibatkan aborsi atau sterilisasi. Aliansi untuk mengurangi tingkat kelahiran bayi mulai dibubarkan dan perdebatan mulai lebih terkutub secara politis.

Jika kubu kanan politik mengajukan keberatan moral terhadap kontrol populasi, kubu kiri menganggapnya sebagai neo-kolonialisme. Sejumlah kelompok keyakinan juga mengecamnya sebagai serangan Barat terhadap nilai-nilai relijius.

Seirign waktu, konferensi PBB tentang populasi dan pembangunan di Kairo pada 1994, berbagai kelompok perempuan menyerukan hak asasi wanita dan mereka menang. Konferensi itu mengadopsi 20 tahun rencana aksi, yang dikenal sebagai konsensus Kairo yang menyerukan setiap negara bahwa pengakuan terhadap kebutuhan wanita lebih diutamakan daripada mementingkan rencana demografi. Kebutuhan wanita itulah yang menjadi inti dari strategi populasi.

Setelah Konsensus Kairo

Pemecahan rekor populasi global saat ini menyembunyikan tren jangka panjang rendahnya tingkat kelahiran, saat urbanisasi, pelayanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan dan akses terhadap KB, semuanya mempengaruhi berbagai pilihan wanita.

Dengan pengecualian sub-Sahara Afrika dan beberapa wilayah termiskin India, kita sekarang memiliki lebih sedikit anak daripada sebelumnya. Meskipun jumlah total populasi tetap akan naik, tapi puncaknya dapat diamati.

Dengan mengasumsikan tren ini terus ada, total populasi suatu saat akan turun. Sebagai hasilnya, beberapa orang yakin bahwa pentingnya kontrol populasi telah sirna. Istilah kontrol populasi juga sudah tidak populer karena ada konotasi otoriter. Setelah konsensus Kairo, yang dibicarakan ialah hak asasi perempuan dan hak asasi reproduksi, yang berarti hak untuk memiliki atau tidak memiliki anak.

Menurut Adrienne Germain, itu merupakan pelajaran utama yang harus diambil dari 50 tahun silam. “Saya memiliki keyakinan penuh bahwa jika Anda memberikan perempuan peralatan yang mereka butuhkan, yakni pendidikan, pekerjaan, kontrasepsi, aborsi aman, mereka akan memiliki berbagai pilihan yang menguntungkan masyarakat,” tuturnya. “Jika Anda tidak punya, Anda hanya akan dalam lingkaran tanpa akhir untuk mengontrol kesuburan, meningkatkan atau menurunkan, menjaganya stabil. Dan itu tidak pernah memberikan hasil yang bagus. Tidak pernah.”

Selain itu, sisa dari program-program untuk sterilisasi, seringkali untuk mendapatkan insentif finansial. Dampaknya, menurut para pengkritik, ini menjadi bentuk paksaan, karena warga miskin sangat sulit menolak uang. “Orang mengatakan ‘Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja sekarang kami mengikuti program dalam model Kairo’,” ungkap Betsy Hartmann. “Tapi apa yang mereka tidak pahami ialah perbedaan besar dalam kekuasaan antara kaum kaya dan miskin. Orang yang menyedikan berbagai layanan di daerah miskin telah memiliki penilaian terhadap orang yang mereka layani.”

Bagi Mohan Rao, ini merupakan contoh bagaimana konsensus Kairo gagal untuk dilaksanakan di negara-negara berkembang. “Kairo memiliki beberapa hal baik. Namun Kairo digerakkan oleh agenda-agenda feminis Dunia Pertama. Hak reproduksi sangat baik, tapi ada banyak jenis hak lainnya sebelum wanita dapat mengakses hak reproduksi. Anda perlu hak untuk pangan, pekerjaan, air, keadilan, dan gaji yang layak. Tanpa semua itu Anda tidak dapat memiliki hak reproduksi,” tegasnya.

Di tengah semua itu, cita-cita ideal konsensus Kairo tetap berfungsi. Sementara Paul Ehrlich juga mengubah pendapatnya tentang isu tersebut. Jika dia menulis bukunya saat ini, “Saya akan fokus pada mencegah kemiskinan massal. Saya akan fokus di sana terlalu banyak orang kaya. Ini kristal jelas bahwa kita tidak dapat mendukung tujuh miliar orang dalam gaya orang kaya Amerika.” (syarifudin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar