Cari di Sini

Senin, 21 Februari 2011

Libya Hadapi Perang Sipil dan Sungai Darah

TRIPOLI (SINDO)- Libya menghadapi perang sipil dan sungai-sungai darah. Peringatan itu diucapkan putra pemimpin Libya Moamer Kadhafi, Saif al-Islam Kadhafi, kemarin, seiring gagalnya aksi brutal aparat untuk meredam pemberontakan rakyat.

Sering bunyi senjata api di jalanan Tripoli, Human Rights Watch (HRW) menyebut korban tewas mencapai 233 sejak Kamis ((17/2). Secara samar, Saif al-Islam menjanjikan reformasi sambil mengecam gerakan revolusi sebagai agenda asing.

“Libya berada di persimpangan jalan. Jika kita tidak sepakat hari ini untuk reformasi, sungai-sungai darah akan mengalir di penjuru Libya,” papar Saif al-Islam dalam pidato yang ditayangkan televisi. “Kami akan mengangkat senjata. Kami akan berjuagn hingga butir peluru terakhir. Kami akan menghancurkan elemen-elemen penghasut. Jika semua orang bersenjata, ini perang sipil, kita akan saling membunuh.”

Saif al-Islam menegaskan, “Libya bukan Mesir, ini bukan Tunisia.” Saif al-Islam, 38, tidak memiliki peran politik yang jelas, tapi dia memiliki pengaruh yang sangat luas, di bawah bayang-bayang kekuasaan ayahnya.

Putra termuda Kadhafi itu menyebut Benghazi yang menjadi basis oposisi sejak lama, telah lepas dari kontrol pemerintah. “Pada saat ini di sana ada tank-tank yang dikemudikan rakyat sipil di Benghazi,” ujarnya yang menambahkan, revolusi bertujuan membentuk pemerintahan Islam dan gerakan itu akan dihancurkan dengan kejam.

Menyoroti kekayaan minyak Libya, Saif al-Islam menegaskan, “Kami memiliki satu sumber daya yang kita hidup tergantung padanya dan itu ialah minyak. Semua perusahaan asing akan dipaksa meninggalkan negara ini.”

“Ini sebuah gerakan oposisi, gerakan separatis yang mengancam persatuan Libya,” tegas Saif al-Islam, sembari mengecam elemen-elemen di Arab dan Afrika sebagai dalang masalah.

Kadhafi, 68, yang merupakan pemimpin paling lama berkuasa di dunia Arab hingga sekarang masih tidak menampakkan diri. Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika, sehingga dengan kekayaan tersebut Kadhafi memiliki pengaruh yang sangat luas.

“Bunyi senapan api terus bersahutan di pusat Tripoli dan beberapa kota, kemarin, untuk pertama kali sejak revolusi bangkit di Libya bagian timur,” kata saksi mata dan jurnalis AFP.

Beberapa saksi mata melihat kebakaran di gedung-gedung publik kemarin malam, termasuk kantor penyiaran negara dan cabang Komite Rakyat yang merupakan jantung kekuasaan rezim.

“Sebanyak 500 warga Libya menyerbu dan menjarah sebuah lokasi konstruksi Korea Selatan (Korsel) dekat ibu kota, kemarin, hingag melukai 15 warganegara Bangladesh serta tiga pekerja Korsel,” papar Kementerian Luar Negeri (kemlu) Korsel.

Saksi mata juga melaporkan terjadi bentrok di pusat kota Lapangan Hijau, Tripoli, antara demonstran penentang dan pendukung Kadhafi. Seorang saksi mata yang bekerja di wilayah Gurgi, melaporkan aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah demonstran.

Di London, perusahaan energi Inggris, BP, mempersiapkan evakuasi beberapa stafnya. Di Brussels, Menteri Luar Negeri (menlu) Spanyol Trinidad Jimenez menjelaskan, 27 negara Uni Eropa (UE) sedang mengkoordinasikan kemungkinan evakuasi warga UE dari Libya, khususnya di Benghazi.

Di Kairo, sebanyak 400 demonstran menuju Kedutaan Besar Libya untuk menyerukan kejatuhan rezim Kadhafi. Utusan Libya untuk Liga Arab menyatakan, dia mundur untuk bergabung dengan revolusi.

Duta Besar (dubes) Libya untuk India Ali Al-Issawi juga mengundurkan diri dalam wawancara dengan BBC, untuk memprotes tindakan rezim menggunakan kekerasan terhadap warga sipil. “Dubes Libya untuk China juga mundur dan mengatakan, Kadhafi mungkin telah melarikan diri keluar dari negaranya, dan pertempuran senjata terjadi antara putra-putranya,” ungkap televisi Al-Jazeera.

Kerusuhan di Libya menyebar dari kota kedua terbesar, Benghazi, saat demonstrasi muncul pada Selasa (15/2) menuju kota Misrata, Mediterania, hanya 200 kilometer dari Tripoli. “Pengacara berdemonstrasi di luar pengadilan Benghazi Utara, ada ribuan orang di sini. Kami menyebutnya Lapangan Tahrir Dua,” ujar seorang pengacara, menyebut lapangan yang menjadi pusat demonstrasi di Mesir yang menjatuhkan Hosni Mubarak.
(AFP/Rtr/syarifudin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar