MANAMA (SINDO)- Gelombang protes di berbagai negara Arab terus menuju titik kulminasi. Lebih dari seribu demonstran di Bahrain, kemarin, mengikuti acara pemakaman korban penembakan dan sedikitnya 2000 pengunjuk rasa lainnya menduduki lapangan di pusat ibu kota Manama.
Unjuk rasa juga terjadi di Libya, yang berujung bentrok antara demonstran dan aparat keamanan hingga 14 orang terluka. Sedangkan pemerintah Iran mengencam akan menindak tegas para pemimpin oposisi yang turut menggerakkan gelombang protes.
Demonstran di berbagai negara terus meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah. Mereka menjadikan kesuksesan revolusi di Mesir dan Tunisia sebagai acuan utama.
Di Bahrain, ribuan orang mengikuti pemakaman Fadel Salman Matrouk yang tewas ditembak di depan sebuah rumah sakit pada Selasa (15/2) saat penguburan Ali Msheymah yang meninggal akibat lukanya setelah polisi menyerang demonstran di sebuah desa di Manama, sehari sebelumnya.
Jasad Matrouk dibungkus bendera Bahrain dan dikuburkan di daerah Al-Mahuz, Manama. “Ini merupakan satu-satunya dan peluang terakhir untuk perubahan rezim,” tulis sebuah spanduk yang dibawa demonstran di Pearl Roundabout, Manama.
Kemarin, ribuan demonstran membangun kamp di Lapangan Pearl dan jumlah mereka terus bertambah seusai pemakaman Matrouk. “Saya tidur di sini. Saya akan tidur di sini hari ini hingga permintaan kami terpenuhi,” tegas Hussein Attiyah, 29.
“Permintaan kami ialah pembebasan semua tahanan politik dan pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Sheikh Khalifa bin Salman al-Khalifa, paman Raja Hamad,” ujar Attiyah. Sheikh Khalifa yang berkuasa sejak 1971 sangat dibenci kubu oposisi.
Beberapa anggota parlemen dari kubu oposisi Syiah turut bergabung dengan gerakan protes. “Demonstran ingin perubahan konstitusi dan pemindahan kekuasaan secara damai,” kata Mohammed Mezaal, anggota parlemen dari oposisi Syiah, Islamic National Accord Association (INAA) yang memerintahkan 18 anggota parlemennya walkout.
Ketua INAA Sheikh Ali Salman menyerukan berdirinya monarkhi konstitusional di Bahrain, dengan posisi Perdana Menteri (PM) dipilih melalui pemilu, bukan ditunjuk raja. Salman mengancam tidak akan mengakhiri boikot di parlemen hingga permintaan terpenuhi.
“Pemerintah harus dipilih rakyat yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemilu secara akuntabel,” tegas Salman dalam konferensi pers kemarin.
Salman menepis kekhawatiran bahwa mayoritas Syiah di Bahrain menginginkan berdirinya rezim Islam seperti Iran. “Tidak ada tempat untuk Vilayat-e Faqih (pemimpin relijius tertinggi) di negara kita. Rakyat tidak menginginkan negara agama. Mereka menginginkan negara sipil dan demokratis seperti tempat lain di dunia,” ujarnya.
Demonstran Bahrain tampak tidak terkesan dengan pidato Raja Hamad di televisi yang menyatakan sangat sedih atas kematian demonstran. Hamas juga menggelar investigasi atas kasus tersebut. Hamad juga berjanji melakukan reformasi seperti proses perbaikan pada 2002 untuk pembubaran parlemen 1975. “Reformasi terus berjalan. Ini tidak akan berhenti,” kata Raja Hamad.
Menteri Dalam Negeri Bahrain Rashed bin Abdullah al-Khalifa juga meminta maaf atas tewasnya demonstran. “Polisi yang menembak mati dua demonstran telah dipenjara,” ujarnya. “Kami mengijinkan demonstran tinggal di Lapangan Pearl untuk menyuarakan keinginan rakyat.”
Amerika Serikat (AS) yang menggunakan Bahrain sebagai pangkalan militer untuk Armada Kelima, mendesak aliansinya di Timur Tengah itu bersikap terbuka atas desakan rakyat. “Kami telah mengirim pesan kuat pada aliansi kami agar melihat contoh Mesir, yang berbeda dengan Iran,” kata Presiden AS Barack Obama.
Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Navi Pillay menuduh otoritas Bahrain menggunakan kekuatan berlebihan saat menghadapi demonstran. Dia menyerukan agar para demonstran yang ditahan segera dibebaskan.
Sementara itu, bentrok terjadi antara demonstran dan aparat keamanan Libya, kemarin. “Sedikitnya 14 orang terluka dalam bentrok di kota Benghazi pada Selasa (15/2). Ini merupakan kerja penyusup di antara para demonstran,” tulis harian Quryna kemarin.
“Pasukan keamanan intervensi untuk menghentikan bentrok antara pendukung dan penentang Pemimpin Libya Moamer Kadhafi yang berkuasa lebih dari 40 tahun,” tulis Quryna.
Kadhafi menghadapi seruan protes melalui internet, kemarin. Salah satu grup di Facebook menyerukan “Hari Kemarahan” di Libya. Unjuk rasa anti pemerintah yang semula diikuti 4.400 demonstran pada Senin (14/2) meningkat dua kali lipat menjadi 9.600 demonstran pada kemarin pagi, setelah kerusuhan di Benghazi.
“Tiga demonstran dan 10 aparat keamanan terluka,” ujar seorang direktur rumah sakit, seperti dikutip Quryna. “Tidak ada korban yang terluka serius.”
Unjuk rasa diawali oleh keluarga tahanan yang tewas saat penembakan di penjara Abu Salim, Tripoli, pada 1996, saat menuntut pembebasan pengacara mereka, Fethi Tarbel.
“Tarbel yang ditahan tanpa alasan jelas, dibebaskan karena tekanan dari keluarganya,” ungkap Quryna.
Laman Libya Al-Youm menyatakan, bentrok tersebut menunjukkan kekuatan pendukung Kadhafi di sejumlah kota. Awalnya, polisi mengerahkan kekuatannya untuk membubarkan massa yang berkumpul di depan kantor polisi di Benghazi. Polisi yang menembakkan gas air mata, meriam air, dan peluru karet, dibalas demonstran dengan lemparan batu.
Namun massa semakin banyak dan mereka mulai meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah. “Rakyat akan mengakhiri korupsi. Darah martir tidak akan kering,” teriak pengunjuk rasa, sebelum polisi membubarkan paksa demonstran.
Segera setelah unjuk rasa di Benghazi, televisi menayangkan ratusan demonstran turun ke jalanan Benghazi serta Tripoli, Syrte dan Sebha, untuk mendukung Kadhafi. Pemimpin Libya itu berkuasa melalui kudeta 1969 yang menggulingkan monarkhi yang didukung Barat.
Dalam tayangan televisi, demonstran pendukung rezim yang berjalan kaki dan mengendarai mobil, melambaikan bendera Libya dan potret Kadhafi. Mereka mengecam jaringan berita Arab, Al Jazeera, sebagai penghasut revolusi.
Gerakan revolusi di Libya juga diserukan melalui internet. salah satu grup di Facebook bernama “The February 17 Intifada (Uprising): A Day of Strikes in Libya” menyerukan perlawanan terhadap rezim. Saat ini grup tersebut sudah memiliki 8.000 anggota.
Demonstran kemarin juga menyerukan unjuk rasa pada hari ini untuk mengenang tewasnya 14 demonstran pada 2006. Mereka akan turun ke jalanan di Benghazi.
Sementara itu, kemarin terjadi bentrok antara pendukung rezim dan pendukung oposisi saat pemakaman korban unjuk rasa sebelumnya. “Mahasiswa dan rakyat yang berpartisipasi dalam pemakaman martir Sane'e Zhale di Tehran Fine Arts University bentrok dengan beberapa orang dari gerakan hasutan,” ungkap laman televisi pemerintah Iran.
Zhale, seorang Kurdi Sunni, menjadi pusat perselisihan kemarin, karena pendukung rezim menganggapnya anggota sukarelawan milisi Basij, sedangkan oposisi menganggapnya dari kubu mereka.
“Pelajar universitas ini (Zhale) tertembak di sekitar Lapangan Enghelab oleh peluru kecil. Dia merupakan pelajar seni dan pendukung rezim,” papar kantor berita pemerintah Iran, IRNA.
Sedangkan laman oposisi Rahesabz.net menyatakan, “Zhale merupakan pendukung Mousavi dan anggota Gerakan Hijau. Keluarganya ditekan untuk mengatakan dia Basij dan pro pemerintah.”
“Milisi Basij yang datang dengan puluhan bus, memprovokasi mahasiswa pada Rabu (16/2) tapi gagal,” ujar Sajjad Rezai, aktivis mahasiswa di Tehran Fine Arts University, seperti dikutip laman Kaleme.com.
Pemerintah Iran menyerukan demonstrasi pada Jumat (18/2) depan di Teheran untuk mengalahkan gerakan oposisi. “Warga Teheran yang mulia akan menuju Lapangan Enghelab setelah salat Jumat dengan solid dan tertib,” papar Dewan Koordinasi Perkembangan Islam (IPCC), badan pengelola pawai yang didukung rezim.
Selain itu, Jaksa Agung Iran Gholam Hossein Mohseni Ejeie memperingatkan, tindakan akan diambil untuk pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi yang menentang Presiden Mahmoud Ahmadinejad dan menyerukan demonstrasi pada Senin (14/2) yang menewaskan dua pengunjuk rasa.
“Para pemimpin penghasut merupakan orang yang harus dihukum atas tindakan kriminal mereka dan aksi-aksi semacam ini akan dihadapi,” ujar Mohseni Ejeie. “Rakyat telah memberi mereka hukuman, tapi rakyat juga memiliki hak dari pengadilan yang kami harap akan mampu terpenuhi.”
Menurut Mohseni Ejeie, beberapa orang ditahan selama unjuk rasa Senin (14/2), tapi beberapa orang segera dibebaskan. “Secara umum, anti-revolusi saat ini di balik berbagai kejadian yang ada. Malangnya, beberapa pihak terjebak perangkap Amerika,” paparnya. Pejabat Iran menuduh Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Israel mempengaruhi gerakan oposisi.
Menghadapi ancaman tersebut, Karroubi dan Mousavi menantang. “Saya deklarasikan saya tidak takut ancaman jenis apa pun dan sebagai seorang tentara bangsa besar ini selama 50 tahun silam, saya siap membayar harga apa pun,” tegas Karroubi di lamannya Sahamnews.org. “Saya peringatkan sebelum terlambat, ambil sumpal dari telingamu dan dengarkan suara rakyat. Memaksakan kekerasan dan menentang keinginan rakyat hanya akan bertahan untuk beberapa saat.”
Dalam pernyataan terpisah di websitenya, Kaleme.com, Mousavi mengkritik pemerintah dan memuji demonstran. “Pawai meriah pada 14 Februari merupakan pencapaian besar bagi rakyat hebat sebuah bangsa besar dan bagi Gerakan Hijau,” ujarnya, menyebut nama gerakan oposisi dan pendukungnya yang turun ke jalan. (AFP/Rtr/syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar