SANAA (SINDO)- Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh yang berkuasa sejak 1978 kemarin menegaskan, hanya kekalahan di kotak suara pemilu yang akan membuatnya mundur. Sikap itu diungkapkannya meski beberapa anggota parlemen sudah bergabung dengan ribuan demonstran di Sanaa untuk menuntutnya melepas jabatan.
“Jika mereka ingin saya mundur, saya hanya akan melepas jabatan melalui kotak suara (pemilu),” tegas Saleh. “Oposisi menaikkan level permintaan mereka, beberapa desakan itu tidak dapat dipenuhi.”
Anggota parlemen dari kubu oposisi bertekad turun ke jalan, dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Minggu (20/2). Mereka bergabung dengan mahasiswa yang telah berunjuk rasa selama sembilan hari terakhir.
Aparat keamanan mengeliling demonstran saat berkumpul di sebuah lapangan sambil membawa spanduk berbunyi “Rakyat ingin perubahan,” “Rakyat ingin menjatuhkan rezim” dan “Pergi”.
Forum Bersama, aliansi kubu oposisi di parlemen, mendesak semua partai untuk bergabung dengan demonstran. “Pengunjuk rasa melawan opresi, tirani, dan korupsi,” papar pernyataan mereka.
“Polisi Yaman menembak mati seorang demonstran di Aden, hingga total korban tewas mencapai 12 orang sejak 16 Februari,” papar saksi mata.
Berbagai negara lain juga masih menghadapi ketegangan politik. Tokoh oposisi Bahrain Hassan Mashaima mengaku akan kembali ke Manama hari ini, saat demonstran terus menggalang massa puluhan ribu orang di Lapangan Pearl.
“Saya sudah memutuskan kembali ke negara saya,” tegas Mashaima yang melarikan diri ke London karena menghadapi tuduhan kasus terorisme di negara kelahirannya, Bahrain.
Melalui telepon dari London, Inggris, Mashaima menyatakan akan mendarat di Manama pada Selasa (22/2) dan tidak ada jaminan bahwa dia tidak akan ditahan di terminal kedatangan. “Tapi dalam kondisi saat ini, saya tidak dapat terus berada di luar negara saya,” katanya. Mashaima merupakan pemimpin gerakan oposisi Haq, atau Gerakan Pembebasan dan Demokrasi.
Sedangkan di Irak, seorang demonstran remaja tewas saat berunjuk rasa di wilayah otonomi Kurdistan. Remaja bernama Serkho Mohammed, 17, merupakan korban tewas ketiga selama protes di Kurdistan untuk mengecam korupsi. Selain korban tewas, 48 orang lainnya terluka, termasuk delapan orang yang diterjang peluru aparat.
Pemerintah Irak berusaha meredam unjuk rasa yang menyebar ke kota-kota lain dalam beberapa pekan terakhir. Pemerintah memotong gaji para politisi, menunda rencana kenaikan tarif import dan menaikkan dana untuk program penyediaan pangan bagi enam juta keluarga.
Sementara di Kuwait, Human Rights Watch (HRW) mendesak agar pemerintah membebaskan puluhan keturunan Arab yang tidak memiliki kewarganegaraan atau disebut badui. Mereka ditahan saat unjuk rasa menuntut perbaikan hak dasar dan kewarganegaraan.
Menurut HRW, negara kayat minyak itu harus membebaskan para tahanan. Sejumlah demonstran juga terluka saat polisi anti huru hara menggunakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa.
Sedangkan di kota-kota Morokko, ribuan orang turun ke jalan untuk menuntut reformasi politik dan pembatasan kekuasaan Raja Mohammed VI. Sekitar 4.000 orang turun ke jalanan ibu kota Rabat, sambil meneriakkan, “Rakyat ingin perubahan, lawan korupsi, terapkan konstitusi demokratis.” (AFP/Rtr/syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar