NICOSIA (SINDO)- Korban tewas terus berguguran dalam gelombang revolusi di Bahrain dan Libya. Ratusan orang terluka, dinyatakan hilang, dan ditahan aparat keamanan, selama bentrok antara demonstran pendukung dan penentang rezim, serta demonstran melawan pasukan anti huru hara.
Di Yordania, 1.500 orang berunjuk rasa di kota Irbid. Sedangkan di Iran, pemerintah menghalangi kemampuan pemimpin oposisi untuk berkomunikasi dengan para pendukungnya.
Di Bahrain, polisi anti huru hara menyerbu Lapangan Pearl, Manama, kemarin pukul 3.00 pagi, sambil menembakkan peluru karet dan gas air mata. Serbuan tiba-tiba itu menewaskan sedikitnya empat orang. Lebih dari 95 demonstran juga terluka saat polisi menyerang tanpa peringatan hingga pengunjuk rasa berlarian panik.
“Mereka menyerang lapangan, saat ratusan orang bermalam di tenda-tenda,” papar Fadel Ahmad, 37, salah satu saksi mata.
Petugas medis di rumah sakit Salmaniya kewalahan saat mobil-mobil pribadi dan ambulance terus membawa korban-korban luka. Lebih dari tiga jam setelah serangan brutal terjadi.
Anggota keluarga korban berkumpul di luar rumah sakit, menangis dan marah, mengutuk aksi brutal aparat keamanan. Mereka pun meneriakkan “Kematian untuk Al-Khalifa”, menyebut keluarga kerajaan Bahrain. Tampak juga antrian orang-orang yang mendonorkan darah untuk para korban.
Selama penyerangan pagi kemarin, bunyi ledakan dan sirine ambulance dapat terdengar ratusan meter dari pusat lapangan yang diblokade. Para demonstran pun berlarian dikejar aparat keamanan yang juga mengerahkan helikopter.
Kemarin fajar, polisi membersihkan tenda-tenda saat awan gas air mata masih melingkupi lapangan. Aparat keamanan juga ditambah sepanjang Manama, termasuk polisi bersenjata yang memblokir jalan-jalan menuju lapangan dan memasang tempat pemeriksaan di jalan-jalan lain, menyebabkan kemacetan lalu lintas yang sangat panjang.
Saksi mata mengatakan, puluhan mobil militer juga dikerahkan dekat Lapangan Pearl. Pemerintah Bahrain mengabaikan kecaman internasional dan menyatakan mereka tidak memiliki pilihan. “Pasukan keamanan mengevakuasi Lapangan Pearl setelah habis semua peluang dialog,” kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Bahrain Jenderal Tarek al-Hassan.
“Beberapa orang meninggalkan tempat atas kemauan sendiri, sedangkan lainnya menolak mematuhi hukum sehingga diperlukan intervensi untuk membubarkan mereka,” kata Hassan.
Ribuan demonstran Bahrain yang terinspirasi revolusi Tunisia dan Mesir, menduduki lapangan itu sejak Kamis (10/2), setelah polisi menewaskan dua demonstran Syiah saat unjuk rasa anti pemerintah.
Pemimpin oposisi Syiah menyebut serangan polisi kemarin itu melanggar hak untuk unjuk rasa damai. “Serangan ini merupakan keputusan salah yang akan mengguncang stabilitas Bahrain,” tegas Ketua Islamic National Accord Association (INAA) Sheikh Ali Salman.
INAA menyatakan, polisi anti huru hara melepas tembakan peluru aktif tanpa peringatan dengan peluru karet. Kerabat dua korban tewas yakni Mahmoud Makki Ali, 22, dan Ali Mansour Ahmad Khoder, 52, menyatakan mereka tidak mendapat keterangan tentang penyebab kematian keduanya.
“Kami menolak menerima jasad keduanya hingga kami mendapat laporan tertulis tentang penyebab utama kematiannya,” papar kerabat korban, Khoder.
Anggota parlemen dari INAA, Ali al-Aswad, menyatakan, salah satu korban tewas ditembak di dadanya dengan bekas lubang peluru di lukanya. Dia bernama Hussein Zaid. “Korban tewas lainnya, Issa Abdul Hassan, 60, meninggal setelah ditembak kepalanya oleh polisi. Sedikitnya 95 orang terluka, sebagian luka serius,” katanya.
Dengan adanya korban baru kemarin, total korban tewas di Bahrain menjadi enam pengunjuk rasa, sejak protes bermula pada Senin (14/2). Pengunjuk rasa pun menamai ulang Lapangan Pearl menjadi Lapangan Tahrir, setelah lokasi itu dijadikan basis demonstran yang menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak pada Jumat (11/2).
Sementara itu, ratusan pendukung Pemimpin Libya Moamer Kadhafi berkumpul di ibu kota Tripoli, kemarin, untuk melawan seruan online gerakan anti pemerintah. Situasi agak tenang kemarin di Tripoli, saat ratusan demonstran pendukung rezim menggunakan bus menuju Lapangan Hijau di ibu kota.
Lalu lintas tampak normal di jalan Omar al-Mokhtar dan aparat keamanan dikerahkan lebih banyak di jalan-jalan utama. Bank-bank dan pertokoan masih buka.
Sedikitnya empat orang tewas dalam bentrok antarademonstran melawan aparat keamanan Libya di kota Al-Baida, kemarin. “Pasukan keamanan internal dan milisi Komite Revolusioner menggunakan peluru aktif untuk membubarkan demonstrasi damai yang digelar pemuda Al-Baida. Sedikitnya empat orang tewas dan beberapa orang terluka,” papar laman Libya Watch yang dikelola kelompok hak asasi manusia (HAM) di Cyprus dan London.
Kelompok HAM di Jenewa, Human Rights Solidarity mengutip pernyataan saksi mata bahwa penembak jitu yang ditempatkan di atas atap, menewaskan sekitar 13 demontran dan melukai puluhan orang lainnya.
Sedangkan Human Rights Watch yang berbasis di New York, menyatakan otoritas Libya menahan 14 aktivis, penulis, dan demonstran yang mempersiapkan unjuk rasa anti pemerintah.
Video-video yang beredar di internet menunjukkan puluhan pemuda Libya berkumpul di Al-Baida pada Rabu malam (16/2) sambil berteriak, “Rakyat ingin menjatuhkan rezim.” Sebuah bangunan tampak dibakar.
Pada Rabu malam (16/2), Pemimpin Libya Moamer Kadhafi yang dikelilingi ribuan pendukungnya, meletakkan batu pertama sebuah gedung olah raga untuk klub terkenal Ahly Tripoli. Kadhafi, 68, berkuasa sejak 1969.
Grup Facebook yang menyerukan Hari Kemarahan, kini memiliki anggota 9.600 orang. Meningkat drastis dari sebelumnya 4.400 anggota pada Senin (14/2).
Sementara di Yaman, sedikitnya 25 orang terluka saat bentrok antara pendukung dan penentang rezim di Sanaa, kemarin. Sebanyak 2.000 demonstran yang sebagian besar mahasiswa, baru saja meninggalkan Sanaa University untuk menuju Lapangan Tahrir di Sanaa. Mereka menuju kelompok pendukung rezim yang telah menunggu para mahasiswa dan bentrok pun tak terelakkan dalam lima hari berturut-turut.
“Pendukung setia Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh berkumpul dan menunggu dekat universitas sejak pagi hari dan menyerang demonstran dengan tongkat dan batu,” ungkap seorang reporter yang menyaksikan bentrok tersebut.
Demonstran pun meneriakkan “Rakyat ingin menjatuhkan rezim” saat lemparan batu menghujani mereka. “Polisi sempat melepas tembakan peringatan untuk membubarkan dua pihak yang bentrok, tapi aparat keamanan ditarik mundur saat demonstran diserah pendukung Saleh,” kata saksi mata. Dari 25 orang yang terluka, sedikitnya 15 orang yang terluka adalah demonstran dan sisanya para pendukung rezim.
Di kota Aden, Yaman, lokasi bentrok antara demonstran dan polisi yang menewaskan dua orang pada Rabu (16/2), aparat menahan sedikitnya 20 orang. Pada Rabu (16/2) demonstran melempari polisi dengan batu, membakar ban dan mobil, serta menyerang gedung pemerintah saat aparat melepas tembakan.
“Sebagian besar yang ditahan ialah yang mencoba menyerbu sebuah kantor polisi dan penjara di distrik Al-Mansura,” ungkap pejabat setempat.
Ratusan demonstran juga menghancurkan toko-toko dan tiga hotel, membakar ban mobil serta memblokade jalanan. “Polisi hanya intervensi saat demonstrasi menjadi brutal,” katanya.
Di Taez, selatan Sanaa, unjuk rasa berlanjut untuk hari keenam, saat demonstran membawa spanduk “Pergi Ali”, membangun tenda-tenda di sebuah persimpangan jalan dekat Lapangan Al-Huraish, setelah polisi menjauhkan mereka dari lapangan di pusat kota. Di Ibb, baratdaya Sanaa, ratusan demonstran juga turun ke jalanan mendesak Saleh mundur.
Sementara itu di Yordania, sebanyak 1.500 orang berunjuk rasa di kota Irbid, menuntut reformasi dan mengecam korupsi pemerintah. “Serikat pekerja, perwakilan dari berbagai partai politik dan organisasi wanita, terlibat dalam demonstrasi mengecam kemiskinan, opresi, dan korupsi pemerintah,” papar demonstran.
Demonstran menyerukan pengadilan baru koruptor dan undang-undang pemilu baru serta reformasi ekonomi. Di Amman, kelompok mahasiswa Yordania menduduki luar gedung pengadilan kerajaan dan menyerukan pembatasan kekuasaan Raja Abdullah II. “Raja tidak berwenang memilih Perdana Menteri (PM),” tegas mereka.
Konstitusi Yordania ditetapkan pada 1952 dan memberi raja hak prerogatif untuk memilih dan memecat PM.
“Kami menginginkan reformasi politik dan konstitusional, serta pembatasan kekuasaan raja,” tegas Basel Bashabshah, koordinator gerakan Pemuda untuk Perubahan (YC) kemarin.
Menurut Bashabshah, mahasiswa menginginkan pemerintahan parlementer dan reformasi ekonomi sesungguhnya. “Rakyat ingin membentuk pemerintahan mereka sendiri. Reformasi dimulai dengan konstitusi,” paparnya.
Sementara di Iran, pemerintah menuduh pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi sebagai pengkhianat. Pemerintah membatasi kemampuan keduanya untuk berkomunikasi dengan para pendukungnya. Secara de facto, keduanya dalam tahanan rumah, tapi secara rutin mengirimkan pesan pada pendukungnya melalui website.
“Pengkhianatan yang dilakukan para pemimpin gerakan hasutan tidak tersembunyi dari siapa pun. Kelompok ini melawan pemerintahan relijius sehingga kami tidak akan menoleransi keberadaan mereka,” ujar kepala kehakiman Iran Ayatollah Sadeq Larijani, kemarin.
Menurut Larijani, kedua tokoh oposisi itu akan ditindak berdasarkan hukum yang berlaku.
“Kami akan menghalangi mekanisme keduanya untuk mengeluarkan berbagai pernyataan,” katanya.
Ribuan pendukung Mousavi dan Karroubi turun ke jalanan Teheran pada Senin (14/2) hingga terjadi bentrok melawan aparat keamanan dan milisi hingga dua orang tewas. Pemerintah Iran menghalangi agar gerakan oposisi tidak membesar seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim. (AFP/Rtr/syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar