KAIRO- Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Pemimpin Hamas Khaled Meshaal kemarin berjanji mengakhiri perselisihan selama bertahun-tahun dalam acara ratifikasi kesepakatan rekonsiliasi di Kairo.
Kesepakatan semua faksi Palestina untuk bersatu membentuk pemerintahan sementara hingga pemilihan umum (pemilu) itu mengejutkan banyak pihak, terutama Israel. Kesepakatan itu ditandatangani pekan ini oleh 13 faksi di Palestina, termasuk Fatah dan Hamas.
“Kita telah menutup lembaran hitam perpecahan selamanya,” papar Abbas, pemimpin Otoritas Palestina di Tepi Barat, pada para delegasi yang menghadiri acara ratifikasi kesepakatan rekonsiliasi di Kairo pada Rabu (4/5) waktu setempat.
Kepala intelijen Mesir Murad Muwafi menyatakan, “Rekonsiliasi membersihkan jalan, tidak hanya untuk membentuk parlemen Palestina, tapi juga perdamaian.”
Saat para petinggi Arab berkumpul untuk meratifikasi kesepakatan itu di Kairo, lebih dari 1.000 rakyat Palestina memenuhi jalanan Gaza City untuk merayakannya. Mereka mengibarkan bendera, menari, dan membunyikan klakson mobil.
Demonstrasi merayakan kesepakatan itu juga digelar di penjuru Tepi Barat. “Hamas akan membayar harga berapa pun untuk rekonsiliasi. Faksi-faksi Palestina hanya bertempur melawan Israel,” tegas Meshaal.
“Hamas bertujuan mendirikan negara Palestina dalam perbatasan 1967, pendirian sebuah negara Palestina berdaulat di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem sebagai ibu kota serta tanpa menyerahkan satu inchi pun, atau pun hak untuk kembali,” papar Meshaal, seperti dikutip kantor berita AFP.
Kesepakatan rekonsiliasi ini membuat Hamas dan Fatah dapat bekerja sama dalam pemerintahan sementara dengan kandidat-kandidat yang tidak berafiliasi dengan faksi mana pun, yang akan bekerja hingga pemilu presiden dan legislatif digelar dalam setahun.
Negosiasi tentang kabinet baru dijadwalkan segera dimulai setelah acara ratifikasi pada Rabu (4/5) di Kairo, dan faksi-faksi juga membentuk Dewan Keamanan Tertinggi untuk mengelola integrasi pasukan keamanan tiap faksi Palestina ke dalam satu lembaga profesional.
Kesepakatan itu juga menyerahkan isu negosiasi dengan Israel, seluruhnya berada di tangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Abbas. Kesepakatan ini tidak menyebut amandemen Hamas terhadap konstitusi Palestina untuk mengakui eksistensi Israel.
Namun kesepakatan itu membuat berang Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu yang menyebutnya sebagai kemenangan besar bagi terorisme. “Apa yang terjadi hari ini di Kairo merupakan pukulan telak bagi perdamaian dan kemenangan besar bagi terorisme,” ujarnya sebelum berunding dengan PM Inggris David Cameron. Netanyahu juga dijadwalkan bertemu Presiden Prancis Nicolas Sarkozy di Paris pada Kamis (5/5) waktu setempat.
Netanyahu mendesak Uni Eropa mencabut pendanaan ke Otoritas Palestina jika Hamas tidak memenuhi desakan Kuartet Timur Tengah untuk mengakui negara Yahudi, menghentikan kekerasan, dan menjalankan seluruh kesepakatan sebelumnya.
Netanyahu dalam kunjungan ke Paris dan London juga untuk melawan rencana Palestina meminta pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar mengakui negara mereka. Saat ini perundingan damai Israel-Palestina mengalami kebuntuan dalam isu pemukiman Yahudi di tanah pendudukan Palestina.
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama akan menjamu Netanyahu untuk perundingan Ruang Oval Gedung Putih pada 20 Mei. Isu proses perdamaian Timur Tengah diperkirakan menjadi agenda utama. “Para pemimpin hendak mendiskusikan isu-isu kepentingan bersama AS dan Israel,” papar pernyataan Gedung Putih.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri (menlu) Irak Hoshyar Zebari berpendapat, kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah mencerminkan melemahnya pengaruh Suriah di kawasan. “Jika pemimpin Hamas Khaled Meshaal pergi dari Damaskus ke Kairo untuk menandatangani sebuah kesepakatna dengan pemimpin Fatah Mahmud Abbas, itu berarti Hamas merasakan perubahan yang terjadi di Suriah,” ujar Zebari pada harian Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung.
Rezim Suriah yang kini menghadapi demonstran oposisi, merupakan pendukung lama Hamas yang menguasai Jalur Gaza. “Saya bukan pengamat politik, saya menlu Irak, tapi sangat sulit untuk mempertahankan rezim Suriah,” kata Zebari.
Sedangkan pemerintah Rusia menyambut kesepakatan rekonsiliasi Palestina. “Moskow menyambut penandatanganan kesepakatan ini, yang dihasilkan dari upaya berbagai pihak, khususnya Mesir,” papar kementerian luar negeri Rusia di websitenya. Rusia merupakan anggota Kuartet Timur Tengah yang termasuk AS, Uni Eropa, dan PBB. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar