SANAA – Tentara Yaman menembak tewas dua demonstran dan melukai sedikitnya sembilan orang lainnya dalam unjuk rasa di provinsi Amran, kemarin.
“Dua demonstran tewas dan sembilan orang lainnya terluka saat tentara menembak dari posisi militer ke arah pengunjuk rasa yang mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh mundur,” papar pemimpin oposisi.
Penembakan itu dilakukan sehari setelah oposisi dan pemimpin agama menawarkan pada Saleh cara termulus untuk melepas kekuasaan pada akhir 2011. Serangan brutal terjadi di desa Semla, 170 kilometer dari ibu kota Sanaa.
Kejadian ini dilaporkan di portal berita oposisi almenpar.net. “Tentara membunuh dan melukai puluhan orang saat mereka menembaki demonstran dari posisi di Semla,” tulis laman tersebut.
Demonstran berkumpul di jalanan dekat kota Harf Sufyan untuk mengkritik korupsi dan mendesak perubahan rezim setelah 30 tahun pemerintahan Saleh. Menurut data yang dikumpulkan kantor berita AFP, rezim diguncang gelombang unjuk rasa yang telah menewaskan sedikitnya 19 orang sejak 16 Februari.
Protes anti rezim ini terinspirasi revolusi di Mesir dan Tunisia yang berhasil memaksa mundur dua pemimpinnya, Hosni Mubarak dan Zine El Abidine Ben Ali. Pekan lalu, Presiden Yaman bertekad mempertahankan tiga dekade pemerintahannya dengan setiap tetes darah. Dia menuduh lawan-lawan politiknya menunggangi demonstran untuk memecah belah bangsa.
Sementara di Bahrain, enam kelompok oposisi, termasuk blok Syiah di parlemen, menetapkan syarat-syarat untuk dialog. Beberapa syarat itu ialah pemilihan majelis konstitusional untuk menyusun konstitusi baru.
“Pemerintah harus mengumumkan bahwa mereka telah menerima empat prinsip dalam pembukaan dialog, sebelum membicarakan ke yang lebih rinci,” tegas juru bicara oposisi, kemarin. “Syarat-syarat itu antara lain pencabutan konstitusi 2002 dan pembentukan majelis konstitusional untuk menulis undang-undang dasar yang baru. Rakyat harus memiliki hak untuk memilih parlemen dengan kekuasaan legislatif penuh. Syarat terakhir ialah jaminan hasil dialog diaplikasikan dan dihormati.”
Syarat-syarat itu disusun oleh enam kelompok politik, termasuk blok oposisi berpengaruh, Shiite Islamic National Accord Association (INAA). Mereka menegaskan perlunya monarkhi konstitusional sebenarnya di Bahrain.
Gelombang unjuk rasa ini mengguncang dinasti Sunni Al-Khalifa yang memerintah negara mayoritas Syiah selama lebih 200 tahun. Unjuk rasa di Bahrain dimulai pada 14 Februari silam.
Di Suriah, para aktivis mendesak reformasi politik menjadi prioritas utama gerakan revolusi. “Kita perlu menyepakati penyusunan konstitusi baru, yang sesuai dengan masyarakat Suriah, melibatkan semua gerakan,” papar Ayman Abdel Nour, editor laman oposisi All4Syria yang berbasis di Dubai.
Kelompok HAM secara rutin mengecam kontrol ketat civil society melalui penahanan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berekspresi, dan bentuk represi lainnya.
Partai Baath berkuasa di Suriah sejak 1963 dan menerapkan undang-undang keadaan darurat yang memberi kekuasaan besar pada pasukan keamanan dan pengadilan, serta melarang semua oposisi dan demonstrasi. (AFP/Rtr/syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar