NEW YORK– Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab Kofi
Annan dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon kemarin menuju Rusia dan
China untuk menekan dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu agar
bersedia menekan Suriah.
Kunjungan Annan dan Ban itu
dilakukan saat paling genting dalam konflik Suriah yang telah
berlangsung 16 bulan dan tanpa indikasi akan segera berakhir. Selama ini
Barat gagal mendesak Moskow dan Beijing agar lebih keras menekan rezim
Presiden Suriah Bashar al- Assad.
“Mungkin Annan dan Ban bakal
memengaruhi Rusia dan China agar tercapai target yang diinginkan,”ujar
salah satu diplomat senior PBB yang enggan disebutkan namanya kepada
AFP. Menurut Juru Bicara Annan, Ahmad Fawzi,utusan PBB dan Liga Arab itu
bakal bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri
Rusia Sergei Lavrov.Kemudian Ban bakal bertemu Presiden China Hu
Jintao,Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao, dan Menteri Luar Negeri
(Menlu) China Yang Jiechi.
Ban berulang kali menegaskan bahwa
sikap diam dunia internasional terhadap krisis Suriah justru memberikan
lisensi bagi Damaskus untuk terus melanjutkan kekerasan.“Ban menyarankan
China menggunakan pengaruhnya agar mendukung rencana perdamaian Annan,”
kata Juru Bicara PBB Martin Nesirky. Para diplomat mengatakan, China
sangat menentang sanksi terhadap Suriah.Langkah ini didukung Rusia yang
merupakan aliansi utama Damaskus.
“Permasalahannya terletak pada
Rusia,” ujar seorang diplomat PBB. Inggris, Amerika Serikat
(AS),Prancis,Jerman,dan Portugal menginginkan sebuah resolusi berisi
sanksi terhadap Suriah agar diloloskan Dewan Keamanan PBB pekan ini.
Resolusi itu memberikan ancaman sanksi jika Assad tidak bersedia menarik
tentara dan persenjataan beratnya dari wilayah permukiman. Sementara
itu,Menlu Rusia Sergei Lavrov menekankan bahwa upaya Barat memaksa Rusia
agar mendukung sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Suriah merupakan
bentuk pemerasan.
“Kami menyesalkan hal ini. Kami melihat ada
unsur pemerasan. Kami diminta memilih antara menyetujui resolusi yang
memasukkan Pasal 7 Piagam PBB atau menolak memperpanjang mandat misi
pemantau (PBB),” papar Lavrov dikutip AFP. Pasal 7 Piagam PBB
menyebutkan tindakan yang bisa diambil PBB dalam menghadapi negara yang
dianggap mengancam perdamaian dan menimbulkan konflik. Ancaman itu
termasuk dengan keterlibatan militer asing ke sebuah negara.
“Kami
menilai ini benar-benar sebagai pendekatan yang kontraproduktif dan
berbahaya,” kata Lavrov. Menurut Lavrov, tidak realistis bagi
negara-negara Barat mengharapkan Rusia bisa meyakinkan Presiden Suriah
Bashar al-Assad untuk mundur dari jabatannya hanya karena Moskow
merupakan sekutu lama rezim Damaskus.
“Kami mendengar komentar
bahwa kunci penyelesaian konflik Suriah ada pada Moskow. Kemudian
dijelaskan pada kami,ketika kami menanyakan tentang hal itu, bahwa itu
berarti kami (Rusia) harus meyakinkan Assad untuk mundur atas kemauan
sendiri.Itu sama sekali tidak realistis. Dan itu bukan soal
keberpihakan, simpati, ataupun antipati kami,” tutur Lavrov.
Lavrov
menegaskan bahwa Assad tidak akan meninggalkan kekuasaannya.“Ini bukan
karena kami melindungi dia, melainkan karena bagian yang penting dari
populasi Suriah yang berada di belakangnya,” paparnya. Tak dapat
dipungkiri bahwa Rusia memiliki hubungan sangat erat dengan Suriah.
Moskow mengancam akan memveto semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang
menyerukan intervensi asing.
Sementara itu, pertempuran sengit
antara pasukan Suriah dan pemberontak bersenjata semakin menyebar di
sejumlah wilayah di ibukota Suriah, Damaskus. Menurut laporan Reuters,
seorang saksi mata menggambarkan pertempuran itu paling sengit sejak
oposisi bersenjata melakukan perlawanan terhadap Presiden Assad 15 bulan
silam. ● andika hendra m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar