PHANOM DONG RAK- Harapan terciptanya gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja sirna, kemarin, karena Bangkok keluar dari perundingan bilateral dan pertempuran di perbatasan memasuki hari keenam.
Perundingan bilateral yang bertujuan mengakhiri konflik yang dijadwalkan di Phnom Penh, kemarin, gagal digelar karena Menteri Pertahanan Thailand Prawit Wongsuwon membatalkan kehadirannya di menit terakhir.
Juru bicara (jubir) militer Thailand Kolonel Sunsern Kaewkumnerd menjelaskan, perjalanan itu dibatalkan setelah media Kamboja melaporkan bahwa Bangkok mengakui kekalahan dalam konflik.
“Saya akan berbicara dengan Kamboja tapi saya tidak ingin publik berpikir keputusan untuk berunding merupakan sebuah kekalahan bagi Thailand,” tegas Prawit, sebelum terbang ke China untuk pertemuan yang tidak terkait dengan konflik perbatasan tersebut.
Thailand dan Kamboja saling tuduh sebagai pihak yang mengawali pertempuran. Konflik ini turut memperkeruh hubungan diplomatik kedua negara.
“Thailand tidak jujur tentang keinginan mencapai gencatan senjata permanen,” papar jubir pemerintah Kamboja Phay Siphan.
Delapan tentara Kamboja dan lima tentara Thailand tewas dalam lima hari pertempuran di perbatasan. Thailand menyatakan, seorang warga sipil juga tewas selama baku tembak.
Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen menyerukan gencatan senjata antara dua negara yang hingga kini menewaskan 14 orang dan memaksa puluhan ribu warga mengungsi. Dia menegaskan ingin pertempuran berhenti. “Kamboja mengajukan gencatan senjata,” katanya dalam pidato di ibu kota Phnom Penh, menambahkan bahwa dia siap menggelar perundingan dengan PM Thailand Abhisit Vejjajiva saat konferensi tingkat tinggi di Jakarta pada awal Mei.
Abhisit menyatakan dia yakin diskusi akan digelar setelah Prawit kembali dari China. “Saya siap untuk berunding tapi saya tidak paham mengapa mereka tidak menghentikan penembakan,” paparnya.
Pada Selasa (26/4) pertempuran meluas hingga perbatasan sekitar candi Preah Vihear berusia 900 tahun yang menjadi fokus ketegangan hubungan dua negara sejak status Warisan Dunia dilekatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada candi itu pada 2008.
Lokasi sekitar Preah Vihear relatif tenang selama dua bulan terakhir, dan berjarak 150 kilometer dari lokasi baku tembak terbaru sejak Jumat (22/4). Para Februari silam, 10 orang tewas dekat Preah Vihear akibat pertempuran kedua negara.
Banyak warga desa yang terjebak dalam pertempuran mengaku ingin kehidupan kembali normal. “Saya ingin mereka saling bicara dan membawa perdamaian,” kata Pornchai Jongkod, penduduk desa Noi Rom Yen, Thailand, yang rumahnya hancur akibat bom dan putrinya terluka.
“Warga menderita, kehilangan nyawa dan barang miliknya. Kehidupan kami sudah keras dan ini hanya semakin memperburuk keadaan,” papar Noi Rom Yen.
Perbatasan Thailand dan Kamboja hingga saat ini belum sepenuhnya memiliki batas negara yang jelas. Ini karena di perbatasan itu tertanam banyak ranjau dari beberapa dekade perang di Kamboja. Pengadilan Dunia juga menetapkan pada 1962 bahwa candi itu milik Kamboja, tapi kedua negara saling mengklaim kepemilikan 4,6 kilometer persegi wilayah sekitar candi.
Kedua negara sepakat pada Februari silam untuk mengijinkan pengamat dari Indonesia di daerah dekat Preah Vihear, tapi militer Thailand menyatakan delegasi itu tidak disambut dan mereka belum berada di sana.
Pada Februari, Dewan Keamanan PBB menyerukan kedua negara menahan diri dan menyepakati gencana senjata permanen. Desakan itu diungkapkan pula oleh Indonesia yang menjadi ketua Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Indonesia meminta Thailand dan Kamboja segera mengakhiri kekerasan di perbatasan. Ketua ASEAN telah mengontak Menlu Thailand dan Kamboja, serta mendesak kedua negara untuk menyelesaikan perbedaan melalui cara-cara damai.
Kamboja menginginkan mediasi asing untuk membantu menyelesaikan kebuntuan masalah perbatasan. Tapi Thailand bersikeras bahwa perselisihan itu harus diselesaikan melalui perundingan bilateral.
Thailand saat ini mengakui menggunakan Munisi Konvensional yang Ditingkatkan untuk Tujuan Ganda (DPICM) pada pertempuran Februari. Tapi Thailand menyangkal negaranya tidak mengklasifkasikan persenjataan itu sebagai peluru tandan yang dilarang digunakan di daerah sipil. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar