BENGHAZI- Oposisi Libya siap melakukan gencatan senjata jika pasukan Muammar Khadafi menghentikan serangan ke kota-kota yang dikuasai pemberontak. Tawaran itu diungkap Pemimpin Dewan Nasional Transisional Mustafa Abdul Jalil yang menjadi representasi Libya di kancah internasional.
Jalil bertemu Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Libya Abdul Ilah Khatib, kemarin, sebelum mengungkapkan tawaran tersebut.
“Kami bersedia gencatan senjata dengan syarat bahwa saudara-saudara kami di kota-kota bagian barat memiliki kebebasan berekspresi dan pasukan yang mengepung kota-kota itu ditarik mundur,” ujar Jalil, setelah bertemu Khatib, kemarin.
Menurut Khatib, kemungkinan gencatan senjata antara pemberontak dan pasukan Khadafi muncul selama diskusi dengan para pemimpin oposisi. “Tujuan utama kami mencapai gencatan senjata terakhir yang akan bertahan lama,” paparnya pada jaringan televisi Al Jazeera.
Kekuatan barat lebih menginginkan penyelesaian politik daripada militer, untuk mengakhiri krisis di Libya. Saat ini kubu oposisi masih menguasai Benghazi, 1000 kilometer timur ibu kota Tripoli, setelah protes pecah pada 15 Februari.
Sementara itu, pemberontak masih bertempur melawan pasukan Khadafi di sekitar kota minyak Brega, kemarin. “Pertempuran terjadi di sekitar Brega pada Jumat pagi (1/4),” papar koresponden AFP.
Pemberontak mencegah wartawan dan warga sipil meninggalkan kota strategis Ajdabiya untuk menuju Brega, 80 kilometer ke barat. Tapi belum jelas siapa yang kini mengontrol kota pengilangan minyak tersebut.
Sebelumnya, pemberontak terpukul mundur oleh serangan pasukan Khadafi di Brega. Pemberontak kemarin berusaha melakukan serangan balik dalam upayanya menuju Tripoli yang masih dikuasai Khadafi. Pemberontak mendesak pasukan koalisi melakukan serangan udara tapi petinggi militer Amerika Serikat (AS) mengatakan cuaca buruk menghalangi operasi udara.
“Masalah terbesar dalam tiga atau empat hari terakhir ialah cuaca. Kami tidak mampu melihat atau mengidentifikasi dalam cuaca buruk seperti itu,” papar panglima Kepala Staf Gabungan Admiral Mike Mullen di Washington.
Tanpa dukungan serangan udara, pemberontak terpukul mundur 200 kilometer dari kota minyak Ras Lanuf hingga ke timur di Brega. Di Brega, pemberontak mengumpulkan kekuatan lagi untuk melakukan serangan balasan.
“Sekitar 20 hingga 25% militer Khadafi serangan NATO, tapi itu tidak berarti Khadafi kehilangan kekuatan militer,” ungkap Mullen.
Saat pemberontak menginginkan suplai persenjataan dari pasukan koalisi, Menteri Pertahanan AS Robert Gates menolak dengan mengatakan, oposisi lebih memerlukan pelatihan daripada persenjataan. Gates meminta negara-negara lain melakukan pelatihan untuk pemberontak Libya.
“Apa yang benar-benar mereka butuhkan ialah pelatihan, komando, kontrol, dan organisasi yang rapi,” papar Gates pada Komiter Badan Persenjataan DPR AS di Washington.
Menurut Gates, misi militer asing tidak untuk menggulingkan Khadafi. Gates menambahkan, rakyat Libya yang akan menjatuhkan Khadafi, bukan serangan udara koalisi.
Sedangkan Menhan Prancis Gerard Longuet menegaskan, memberikan persenjataan untuk pemberontak bukan bagian dari mandat PBB. Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen juga menolak keras langkah mempersenjatai pemberontak. “Kita di sana untuk melindungi rakayt Libya, bukan untuk mempersenjatainya,” tegas Rasmussen.
Menteri Luar Negeri (menlu) Jerman Guido Westerwelle juga mengatakan, situasi di Libya tidak dapat diselesaikan melalui jalur militer. Dia menyerukan gencatan senjata. “Hanya ada resolusi politik di sana dan kita harus mendorong proses politik. Itu harus dimulai dengan gencatan senjata sehingga Khadafi mengijinkan proses damai dimulai,” papar Westerwelle setelah bertemu Menlu China Yang Jiechi, kemarin.
Sehari setelah rezim Khadafi diguncang pembelotan Menlu Libya Mussa Kussa, pejabat Inggris melakukan diskusi rahasia di London dengan Mohammed Ismail, pembantu utama putra Khadafi, Seif al-Islam. Menurut laman WikiLeaks, meski tidak terlalu terkenal di dalam negeri Libya dan internasional, Ismail sering mewakili Libya dalam berbagai negosiasi pembelian persenjataan.
“Pertemuan itu diyakini membahas strategi keluar bagi Khadafi dan rezimnya,” ujar sumber pemerintah Inggris, seperti ditulis harian Guardian.
Kantor Kementerian Luar Negeri (kemlu) Inggris menolak berkomentar tentang laporan itu. “Kami tidak tidak menyediakan komentar tentang kontak yang dilakukan dengan pejabat Libya. Jika ada kontak yang sudah kami lakukan, kami jelaskan bahwa itu setelah Khadafi mundur,” papar juru bicara Kemlu Inggris.
Kantor Downing Street tempat Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron bertugas, juga menolak mengeluarkan komentar.
BBC melaporkan, tidak jelas apa tujuan lawatan Ismail ke Inggris, tapi dia sudah kembali ke Tripoli.
Sedangkan The Times menulis, “Ismail memiliki pesan dari Khadafi atau ingin membahas jalan keluar bagi rezim Libya. Pejabat Inggris mengirim dia kembali ke Libya dengan pesan bagi Khadafi.”
Sementara itu, menurut Kemlu Inggris, setelah pembelotan Kussa dan kedatangannya ke London, pejabat Inggris masih berbicara dengan Kussa. Kemlu Inggris tidak menjelaskan lebih rinci tentang isi pertemuan tersebut.
Inggris menegaskan tidak menawarkan kekebalan hukum pada Kussa. Namun Inggris terus mendorong orang-orang terdekat Khadafi untuk membelot.
Sementara itu Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Antonio Guterres menjelaskan, sangat penting agar akses kemanusiaan dibuka untuk semua yang memerlukan di Libya.
Kelompok bantuan Prancis, Action Against Hunger (ACF) menyatakan, gelombang baru pengungsi melarikan diri melintas menuju Tunisia. Kemungkinan jumlah itu terus bertambah. “Sebulan setelah dimulainya konflik, orang-orang menyelamatkan diri dari kekerasan dan jumlahnya meningkat di perbatasan antara Libya dan Tunisia,” papar pernyataan ACF.
“Saat ini 9.000 orang tinggal di kamp di Choucha, padahal pekan lalu Cuma 3.000 orang,” papar ACF.
Di Jenewa, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) meminta dana untuk pemulangan migran asing yang melarikan diri dari Libya. IOM menyatakan hanya dapat melakukan 20 evakuasi per hari saat ini.
“Uang untuk operasi IOM telah mengering. Kami terpaksa mengurangi jumlah orang yang dapat kami evakuasi per hari, dari 6000 orang per hari menjadi sangat minimal,” kata juru bicara IOM Jemini Pandya.
Meski demikian, IOM tetap membantu proses evakuasi lainnya yang didanai oleh UNHCR. “Kami saat ini membutuhkan USD160 juta untuk melakukan operasi evakuasi. Jumlah itu untuk mengevakuasi 75.000 orang, serta suplai bantuan sepert makanan dan obat-obatan,” papar Pandya.
Sebanyak 410.000 orang telah melarikan diri dari Libya sejak Februari silam. “Lebih dari 12.000 migran masih terjebak di perbatasan Tunisia dan Mesir,” kata Pandya. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar