RAMALLAH- Hamas dan Fatah kemarin membuat kesepakatan mengejutkan yang mengakhiri perselisihan beberapa dekade. Kesepakatan untuk membentuk pemerintahan transisi itu disambut kepemimpinan Palestina tapi dikecam Israel yang menganggapnya melintasi “garis merah.”
Dalam kesepakatan yang diumumkan di Kairo pada Rabu (27/4) itu, sekuler Fatah yang mendominasi Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza, sepakat bekerja sama membentuk pemerintahan transisi menjelang pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar dalam setahun.
Kesepakatan yang muncul setelah 18 bulan perundingan yang buntu itu mendapat sambutan dari Perdana Menteri (PM) Palestina Salam Fayyad. “Saya harap ini akan menjadi langkah penting bagi proses terbentuknya segera persatuan nasional,” paparnya, seperti dikutip kantor berita AFP.
Iran juga menyambut kesepakatan antara Fatah dan Hamas. “Iran akan mempercepat pembangunan di wilayah Palestina dan meraih kemenangan besar melawan Israel,” tegas Teheran.
Tapi kesepakatan ini mendapat kecaman Israel. Menteri Luar Negeri (menlu) Israel Avigdor Lieberman dan Menteri Pertahanan (menhan) Ehud Barak memperingatkan bahwa rezim Zionis tidak akan pernah menerima pemerintahan Hamas.
“Dengan kesepakatan ini, garis merah telah dilewati,” kata Lieberman di radio militer Israel, kemarin, sambil mengancam rencana balas dendam. Sedangkan Barak menegaskan, “Militer akan menggunakan kepalan besi untuk menghadapi semua ancaman. Israel tidak akan pernah bernegosiasi dengan Hamas.”
Kesepakatan akan membuat Hamas dan Fatah dapat bekerja sama membentuk pemerintahan sementara dengan sejumlah politisi independen yang dipilih kedua pihak. “Pemerintahan sementara itu akan berjalan hingga pemilu dapat digelar,” kata kepala delegasi Fatah Azzam al-Ahmad melalui telepon dari Kairo, pada kantor berita AFP.
Azzam menjelaskan, faksi-faksi Palestina yang bertikai sejak awal 1990-an, telah menyepakati membentuk satu pemerintahan independen. “Pemerintahan ini akan bertugas menyiapkan pemilu presiden dan legislatif dalam setahun,” paparnya.
Pejabat senior Hamas Mahmud Zahar yang menghadiri perundingan itu menjelaskan, pemerintah transisi akan diisi oleh tokoh-tokoh yang dipilih kedua pihak.
“Perwakilan Hamas dan Fatah akan kembali ke Kairo pada akhir pekan depan untuk menandatangani dokumen kesepakatan, yang didalamnya akan menetapkan syarat-syarat pembebasan tahanan politik di kedua pihak,” ungkap Zahar.
Zahar mengkonfirmasi bahwa Fatah dan Hamas telah melepas perbedaan terkait isu keamanan yang selama 18 bulan silam menjadi penghalang negosiasi yang dimulai setelah gagalnya penandatanganan kesepakatan pada Oktober 2009.
Mussa Abu Marzuk, salah satu tokoh penting kepemimpinan Hamas di pengasingan Damascus menjelaskan, dua pihak akan menandatangani kesepakatan pada Rabu pekan depan (4/5), setelah itu mereka akan mulai berkonsultasi tentang pembentukan pemerintahan sementara.
Beberapa saat setelah kesepakatan itu diumumkan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan sebuah ultimatum untuk Presiden Palestina Mahmud Abbas. “Pilih antara perdamaian dengan Israel atau perdamaian dengan Hamas,” tegasnya.
Menurut Netanyahu, kesepakatan itu akan membuka lebar jalan bagi Hamas memperluas kontrol di Tepi Barat. “Tidak boleh ada perdamaian antara keduanya karena Hamas berupaya merusak Israel dan mengatakannya dengan sangat terbuka,” ujarnya.
Menanggapi komentar pedas Netanyahu, juru bicara Abbas, Nabil Abu Rudeina menegaskan, “Untuk menanggapi pernyataan Netanyahu, kami katakan bahwa rekonsiliasi Palestina merupakan masalah internal Palestina. Netanyahu dalam bagian ini, harus memilih antara perdamaian dan pemukiman.”
Amerika Serikat (AS) yang merupakan sekutu Israel, menyambut kesepakatan itu. “Pemerintahan Palestina yang baru harus menolak kekerasan, mendukung kesepakatan sebelumnya dan mengakui hak Israel untuk eksis,” papar juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS Tommy Vietor.
Hamas dan Fatah hampir saya menandatangani kesepakatan yang dimediasi Mesir pada Oktober 2009, tapi Hamas membatalkan menandatangani karena menolak beberapa isi kesepakatan tanpa memberitahu mereka.
Ketegangan antara dua gerakan itu dimulai sejak awal 1990-an saat pemimpin Fatah banyak menangkap para aktivis Hamas. Perselisihan memburuk pada Januari 2006, saat Hamas mengalahkan Fatah dalam pemilu. Hamas menguasai lebih dari setengah kursi di parlemen Palestina sehingga mereka berhak membentuk pemerintahan. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar