NEW YORK- Pengumuman resmi bahwa dua reaktor di sebuah fasilitas nuklir Fukushima Daiichi yang rusak karena gempa bumi dapat mengalami kebocoran, menambah sejarah masalah industri nuklir Jepang.
Kondisi reaktor nuklir itu pun membuat kelompok penentang nuklir semakin bertekad menolak sumber energi tersebut. Berbagai pihak pun kian meragukan tentang keamanan energi nuklir yang selama ini coba didengung-dengungkan para pendukungnya. Meski ada yang tetap menganggap nuklir sebagai sumber energi bersih dan aman bagi kesehatan lingkungan dan publik, tidak seperti bahan bakar fosil yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca.
Krisis di fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang sudah berusia 40 tahun itu terjadi karena kegagalan sistem pendingin di sejumlah reaktor. Di PLTN terdekat, Daini, tiga reaktor lainnya juga mengalami kerusakan sistem pendingin. Karena itulah para pejabat Jepang kemarin kalang kabut untuk menentukan apakah sistem pendingin itu dapat diperbaiki atau perlukan diinjeksi dengan air laut yang sudah didinginkan.
Kritik terhadap energi nuklir sudah lama muncul, terutama terkait kelayakan PLTN di negara rawan gempa seperti Jepang. Berbagai reaktor nuklir itu memang sudah didesain untuk menghadapi ancaman gempa, tapi kejadian di Fukushima Daiichi menegaskan terlalu sedikitnya perhatian yang diberikan untuk menghadapi ancaman tersebut. Tampaknya, reaktor-reaktor itu memang tahan terhadap guncangan gempa bumi, tapi gelombang tsunami telah merusak sejumlah generator dan sistem pendukung lainnya, sehingga merusak kemampuan untuk mendinginkan reaktor-reaktor tersebut.
Hingga kemarin, kondisi semakin berbahaya di Fukushima Daiichi. Bahkan, sejak Sabtu (12/3), saat Reaktor No. 1 yang mengalami kebocoran radiasi dan ledakan, James M. Acton dari Carnegie Endowment for International Peace memperingatkan, industri nuklir akan terguncang. “Meskipun Jepang mungkin telah mencapai kemajuan dalam keamanan fasilitas-fasilitas nuklir terbaru, kekhawatiran mungkin semakin besar,” katanya, seperti dikutip The New York Times.
“Beberapa dekade silam, setelah insiden Chernobyl dan Three Mile Island, industri nuklir berupaya berargumen bahwa reaktor-reaktor yang lebih baru memiliki sistem keamanan yang lebih baik. Argumen itu membuat sangat sedikit perbedaan terhadap persepsi publik,” tutur Acton.
Status Jepang sebagai satu-satunya target serangan nuklir Amerika Serikat (AS), di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, menambah sensitivitas publik.
Benjamin Leyre, pengamat industri dari Exane BNP Paribas, Paris, juga berkomentar lusa kemarin, bahwa para politisi di Eropa dan negara lain, akan mendapat tekanan lebih besar untuk memastikan keamanan energi nuklir. “Pada masa mendatang, akan tergantung sebesar apa tranparansi peraturan di Jepang. Akan ada banyak fokus tentang keyakinan warga bahwa mereka tahu semuanya dan kebenaran itu akan berada di depan mereka,” ungkapnya.
Selama bertahun-tahun, para operator PLTN di Jepang, bersama pejabat pemerintah, kadangkala menyembunyikan berbagai kejadian di fasilitas nuklir, dari perhatian publik. Misalnya, pada 2007, gempa bumi di baratlaut Jepang mengakibatkan kebakaran dan kebocoran radiasi kecil di PLTN terbesar di dunia, di Kashiwazaki City.
Penyelidikan menemukan bahwa operator PLTN, Tokyo Electric, tidak tahu telah membangun fasilitas nuklir tepat di atas lempeng seismik aktif. Serangkaian kebakaran yang terjadi di dalam PLTN itu setelah gempa bumi, kian membuat publik khawatir. Namun Tokyo Electric mengatakan, pihaknya telah memperbaiki fasilitas itu agar mampu menghadapi guncangan gempa lebih besar. PLTN itu pun dibuka lagi pada 2009.
Tahun lalu, reaktor lain dengan sejarah masalah juga diijinkan dibuka lagi, 14 tahun setelah kebakaran memaksa PLTN itu ditutup. Operator fasilitas itu, Monju Prototype Fast Breeder Reactor, yang berlokasi di sepanjang pantai 220 mil barat Tokyo, berupaya menutupi sejumlah kebakaran yang terjadi, dengan merilis video yang sudah diubah setelah peristiwa kebakaran pada 1995 tersebut.
Dalam kejadian terbaru sekarang, beberapa jam setelah ledakan di Reaktor No. 1, para pendukung energi nuklir berargumen, berbagai masalah di Fukushima Daiichi itu sangat berbeda dalam banyak hal dan terjadi akibat bencana alam dalam skala yang belum pernah dialami di Jepang. Mereka justru menyoroti bahwa penggalian bahan bakar fosil memiliki sejarah bencana sendiri, termasuk robohnya tambang batubara dan tumpahnya minyak BP di Teluk Meksiko.
Beberapa pihak juga mengatakan, mungkin terjadi salah penanganan Reaktor No. 1. “Sumber air alternatif untuk pendingin harus segera didapatkan,” kata Nils J. Diaz, insinyur nuklir yang memimpin Komisi Regulator Nuklir Amerika Serikat dari 2003 hingga 2006 dan pernah mengunjungi PLTN Daiichi.
Diaz menduga, Jepang mungkin bertindak terlalu lambat untuk mencegah overheating (panas berlebihan), termasuk berbagai prosedur yang mungkin memerlukan pertukaran uap dan radiasi dalam jumlah kecil, daripada beresiko mengalami kebocoran besar. “Kekhawatiran para pembuat kebijakan Jepang terhadap reaksi publik terhadap pelepasan sebagian kecil radiasi mungkin menunda para operator PLTN bertindak secepat mungkin, seperti yang mereka harapkan,” tuturnya.
Menurut Diaz, kelambanan bertindak itu bisa muncul dari budaya pembuatan keputusan yang terlalu lama. “Mereka lebih memilih menunggu dan melakukan sesuatu secara sempurna, daripada melakukannya sebaik mungkin yang diperlukan sekarang. Dan mencari kesempurnaan ini sering membuat orang menyembunyikan berbagai hal atau menunggu terlalu lama untuk melakukan sesuatu,” paparnya.
Sebagai negara yang tidak memiliki sumber daya alam, Jepang menganggap energi nuklir sebagai alternatif bahan bakar fosil sejak 1960-an. Ini sesuai dengan sikap para pakar energi nuklir yang menganggap sumber tersebut cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memenuhi pasar yang lapar energi di Asia.
Jepang merupakan salah satu konsumen energi nuklir terbesar di dunia. Negara itu memiliki 17 PLTN yang terdiri atas 55 reaktor. PLTN di Jepang memenuhi 30% kebutuhan listrik warganya.
Untuk membuat PLTN tahan gempa, para operator perlu membangunnya di atas batuan dasar atau lapisan tanah keras, untuk meminimalkan guncangan dan mendirikan dinding anti tsunami di PLTN yang berada di sepanjang pantai. Tapi pemerintah Jepang memberi para operator PLTN itu banyak kelonggaran untuk memutuskan apakah lokasi tersebut aman bagi fasilitas tersebut.
Dalam kasus ledakan yang terjadi pada Sabtu (12/3), para pakar mengatakan, masalah telah dapat dihindari. Karena itu pula, Diaz menyarankan, program keamanan PLTN komprehensif yang dikembangkan di AS setelah serangan 11 September, harus mencegah kejadian serupa di fasilitas nuklir negara mana pun. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar