Ketika Suriah sedang memasuki perang sipil yang lama dan berdarah, perebutan hegemoni regional antara Iran, Arab Saudi, dan Turki mulai memanas.
Sejak jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak, Saudi memutuskan untuk secara drastis mengurangi kepercayaan mereka terhadap Amerika Serikat (AS) untuk mengamankan kepentingan kebijakan luar negerinya. Riyadh tidak hanya mulai menguatkan angkatan bersenjatanya, tapi juga memutuskan menggunakan kekayaan minyaknya untuk lebih agresif membeli pengaruh dengan imbalan berbagai bantuan keuangan.
Dengan memanfaatkan lemahnya Mesir saat ini, Saudi memiliki peran kuat di Liga Arab. Banyak pengamat menganggap bahwa Liga Arab saat ini sebagai perluasan Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Saudi yang lebih menyukai evalusi daripada revolusi juga berperan besar dalam melumpuhkan gerakan revolusioner di Bahrain dan Yaman, tentu saja dengan berbagai cara.
Adapun Turki saat ini terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat di saat krisis global. Turki mengalami kesuksesan luar biasa dalam menciptakan kohesi sosial dengan mengurangi perbedaan antara kekuatan sekuler dan relijius. Turki juga meningkatkan peran di pentas dunia sebagai contoh model bagi pendukung revolusi Arab. Di sisi lain, Turki juga telah meningkatkan ketegasan sikapnya dalam dunia diplomasi, misalnya saat konflik dengan Israel terkait tewasnya 9 aktivis Turki akibat serangan militer rezim Zionis.
Kepemimpinan Turki sekarang berupaya keras untuk berperan sebagai kekuatan regional independen yang serupa dengan anggota BRICS (Brasil, Rusia, India dan China). Ankara juga memperluas hubungan dengan Mesir untuk meredam potensi kritik Arab atas upaya hegemoninya. Kementerian Luar Negeri Turki menegaskan, “Kemitraan antara Turki dan Mesir dapat menciptakan kekuatan poros demokratis yang baru.”
“Sedangkan Iran membuka jalur berbeda untuk memperkuat sistem aliansinya saat beberapa pihak menentang perluasan pengaruhnya memasuki teater baru. Dan saat pasukan AS mula ditarik dari Irak, pengaruh Iran di Baghdad semakin meningkat, khususnya saat Turki menjadi lebih tertarik pada masalah intra-Kurdi dan Saudi mulai meninggalkan Syiah Irak,” papar Nima Khorrami Assl, pengamat keamanan di Transnational Crisis Project, London, pada Al Jazeera.
Menurut Nima, pengaruh Iran di Lebanon juga semakin tidak terusik saat Hezbollah terus mendominasi politik Lebanon. Ini membuat Suriah menjadi teater pertama bagi permainan hegemoni regional yang akan mulai semakin terbuka.
Suriah penting bagi Iran untuk dua alasan utama. Pertama, Suriah menghubungkan antara Iran dan Hezbullah. Kejatuhan Assad akan menjadi pukulan besar bagi kebijakan luar negeri Iran karena mengurangi jangkauan geopolitik Teheran, sehingga akan menjadikan rezim Iran tidak populer. Kedua, Teheran khawatir kejatuhan Assad dapat merevitalisasi gerakan antipemerintah Iran.
Adapun Saudi, sangat berambisi menyaksikan keruntuhan pemerintahan Assad, tidak lain karena dia merupakan seorang Alawi. Selain itu, kejatuhan Assad akan memperkuat Saudi dalam menantang pengaruh Iran di Lebanon.
“Untuk bagian ini, Turki lebih mengkhawatirkan situasi Suriah karena memiliki perbatasan yang panjang dengan negara itu. Kekacauan yang terus terjadi di Suriah dapat berdampak terhadap populasi Kurdi di Turki. Selain itu, Ankara paham betul bahwa jika Assad tetap berkuasa, akan secara total merugikan investasi Turki di Suriah,” ujar Nima. Ditambah lagi fakta sejarah terjadinya pertikaian antara Iran dan Suriah atas Suriah di era Ottoman-Safavid.
Saat ini Turki dan Saudi tampaknya menjalankan aliansi taktis melawan Iran dengan mendukung Ikhwanul Muslim (IM) dan mendesak Assad untuk mundur. Namun masih belum jelas, apakah aliansi ini akan mencapai hasil yang diharapkan. Aliansi ini tetap dapat hancur setiap saat karena Turki dan Saudi memiliki kepentingan berbeda di Mesir.
Suadi lebih mendukung keberadaan militer yang kuat di Mesir era Hosni Mubarak. Sedangkan Turki lebih mendukung pemerintahan baru yang terpilih secara demokratis dapat segera bekerja di Mesir. Ketika pemerintahan Mesir sedang membutuhkan dana yang besar, Saudi akan meminta syarat pada Kairo, yang jelas akan merugikan kepentingan Turki.
Lebih penting lagi, saat pasukan AS bersiap meninggalkan Irak, sudah ada laporan ketegangan antara Kurdi dan aparat keamanan Irak di sepanjang perbatasan. Jika perang sipil di Suriah dan penarikan pasukan AS mendorong gerakan kemerdekaan Kurdi, Turki diperkirakan bekerja sama dengan pasukan Iran untuk menjaga persatuan Irak dan Suriah, meskipun itu berarti harus mendukung rezim Assad.
Yang semakin menarik, saat orientasi ulang kebijakan luar negeri AS untuk fokus di Asia Pasifik, persaingan ini menjelaskan indikasi bagaimana tata regional di masa depan akan terlihat, yakni sistem multipolar dengan Iran, Saudi, Turki, dan Mesir, kembali ke posisi mereka semula.
“Saat tata dunia baru ini terbentuk, dapat diperkirakan terjadi lebih banyak kekacauan di masa depan. Tantangan terbesar yang dihadapi mendatang ialah bagaimana berbagai kekuatan itu akan menyepakati aturan dalam persaingan mereka,” kata Nima.
Selain perebutan pengaruh yang terjadi antara Iran, Saudi, Turki, dan Mesir di Suriah, China serta Rusia juga memiliki kepentingan besar terhadap Ankara. Kepentingan ekonomi China dan Rusia di Suriah menjadikan Beijing dan Moskow menolak resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam rezim Assad.
Salah satunya, Rusia menyatakan akan terus melanjutkan eksport persenjataannya ke Suriah karena tidak ada keputusan internasional yang melarangnya. Penegasan sikap ini diungkapkan Deputi Direktur Badan Federal Kerjasama Teknis-Militer Rusia Vyacheslav Dzirklan di Dubai Air Show pada pekan lalu.
Pernyataan itu menunjukkan prospek kerjasama teknis-militer antara Rusia dan Suriah, saat tekanan internasional terhadap Assad semakin meningkat. Suriah merupakan importir terbesar persenjataan Rusia di kawasan Timur Tengah. Kerja sama itu sempat menurun setelah pecahnya Uni Soviet, tapi sekarang hubungan itu semakin kuat.
“Perdagangan (senjata) memang tidak sangat aktif, karena Suriah tidak kaya. Namun Suriah menghabiskan hampir USD100 juta untuk persenjataan Rusia setiap tahun. Terjadi peningkatan jumlah kesepakatan itu, sehingga Rusia menempati posisi kelima dari importir utama persenjataan Rusia dengan nilai kontrak mencapai lebih USD3,5-3,8 miliar. Dalam salah satu kesepakatan terbesar, Suriah membeli 24 Mig-29M2. Kontrak itu akan dilaksanakan pada 2012 dan 2013,” papar Konstantin Makienko, pakar dari Center for Analysis of Strategies and Technologies.
Rusia juga bersedia menyuplai Suriah dengan rudal antikapal Bastion dan Yakhont yang merupakan bagian sistem rudal pantai aktif (MCMS). “Jika rudal-rudal itu dikhawatirkan, pembatasan yang diberlakukan Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MCR) membatasi jangkauan rudal hingga 300 kilometer. Jangkauan rudal Bastion hanya 280 kilometer sehingga itu tidak melanggar hukum internasional mana pun,” tegas Konstantin Makienko.
Moskow juga mengirimkan rudal anti-tank Kornet dan Metis pada Suriah. Kontrak yang sudah dilaksanakan termasuk suplai 36 rudal anti-pesawat “Pancyr C” dan upgrade pesawat T-72 dan MiG-29.
Rusia menolak semua bentuk embargo persenjataan terhadap Suriah karena tidak ingin mengulangi apa yang terjadi di Libya. Saat itu embargo persenjataan hanya dilaksanakan untuk militer Libya, tapi gerakan pemberontak masih mendapatkan suplai senjata dari Barat. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar