Pemberontakan di Suriah sudah memasuki bulan kesembilan dan menewaskan lebih dari 4.000 jiwa, namun tidak ada tanda-tanda rezim Presiden Bashar al-Assad bersedia mundur.
Assad justru semakin teguh mempertahankan kekuasaan dan menegaskan bahwa tewasnya ribuan orang di Suriah bukan tanggung jawabnya. Sebagai presiden, Assad lepas tanggung jawab dengan mengatakan dia bukan pemilik negara tersebut dan tidak memerintahkan tentara untuk menembaki rakyatnya.
Kekuatan Barat, Liga Arab dan Turki semakin frustrasi melihat kondisi ini. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) hanya dapat menerapkan sanksi sepihak terhadap Suriah. AS dan UE tidak mampu menggalang kekuatan internasional di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mengecam rezim Suriah karena langkah itu diveto oleh Rusia dan China.
Adapun Liga Arab terlihat gamang dengan ancaman menerapkan sanksi-sanksinya. Liga Arab terus memperpanjang batas waktu ultimatum mereka untuk menerapkan sejumlah sanksi. Suriah pun jeli melihat peluang dengan terus memperpanjang waktu dalam ketidakpastian.
Sedangkan Turki juga hanya secara unilateral menerapkan sanksinya terhadap Suriah. Sanksi itu pun tidak berani menyentuh sektor energi Suriah. Turki khawatir jika menerapkan sanksi terhadap sektor energi Suriah akan memiliki dampak buruk bagi ekonominya. Demikian juga dengan AS, UE, dan Liga Arab yang masih tidak menyentuh sektor energi Suriah untuk penerapan sanksinya.
Anggota DPR AS (House of Representative) Ileana Ros-Lehtinen dan Brad Sherman mengusulkan perubahan Akta Modernisasi dan Reformasi Nonproliferasi Iran, Korea Utara (Korut) dan Suriah untuk memberikan sanksi lebih keras terhadap sektor persenjataan, peralatan pertambangan atau dukungan teknologi terhadap Damaskus.
Oposisi Dewan Nasional Suriah (SNC) menyambut berbagai sanksi itu sebagai cara untuk mematikan kemampuan pemerintah Damaskus untuk mempertahankan aparat keamanannya. Dalam dua bulan terakhir, Dewan Nasional Suriah (SNC) mengklaim sebagai perwakilan resmi rakyat Suriah di dunia internasional.
SNC tampaknya hendak meniru Dewan Transisi Nasional (NTC) di Libya yang menjadi lembaga oposisi rezim Muammar Khadafi untuk mencari dukungan internasional. NTC terbukti berhasil menggulingkan Khadafi, namun SNC hingga saat ini belum menunjukkan daya tawarnya di komunitas global.
Namun banyak pengamat justru lebih mengkhawatirkan sanksi-sanksi yang diterapkan asing dapat menyengsarakan rakyat Suriah. Para ekonom memperkirakan dampak langsung sanksi internasional itu bernilai hingga USD400 juta per bulan. Sanksi-sanksi itu turut mengacaukan stabilitas ekonomi Suriah karena mengakibatkan naiknya harga kebutuhan pokok dan devaluasi yang sangat cepat terhadap mata uang Suriah, pound.
Meskipun mengalami pengurangan perdagangan dari beberapa negara tetangga terbesarnya, Suriah masih menikmati hubungan ekonomi yang kuat dengan Irak, Lebanon, dan Iran, bahkan dengan Rusia dan China. Hasilnya, dampak sebenarnya dari berbagai sanksi internasional itu belum terlihat.
Karena itu, AS berambisi meningkatkan sanksinya terhadap Suriah. Washington terlihat semakin agresif mendukung gerakan oposisi, dengan terus meningkatkan kecaman dan pembatasan terhadap pemerintah Suriah. Pekan lalu, pemerintahan Presiden AS Barack Obama mengumumkan kembalinya Duta Besar AS untuk Suriah Robert Ford kembali ke Damaskus. Adapun Menteri Luar Negeri (menlu) AS Hillary Clinton menggelar pertemuan langsung dengan berbagai elemen oposisi Suriah untuk pertama kalinya.
Hillary menganggap SNC sebagai perwakilan utama dan sah rakyat Suriah yang menginginkan transisi damai dan demokratis. Hillary juga menuduh rezim Suriah memperkeruh kekerasan sektarian.
Meskipun dukungan Washington semakin kuat, sejumlah pejabat AS masih meragukan legitimasi SNC sebenarnya. Pejabat AS juga mempertanyakan kemampuan SNC dalam mengendalikan berbagai kejadian di lapangan.
Laporan terbaru tentang Suriah oleh International Crisis Group (ICG) menyebutkan banyaknya kerumitan untuk mendefinisikan pemberontakan yang sedang terjadi di negara itu, mulai dari masalah komunitas minoritas Suriah hingga keterkaitan oposisi Suriah dengan berbagai aktor regional dan internasional, serta kekerasan yang semakin meningkat akibat kompleksitas itu.
Menyadari kegamangan komunitas internasional itu, rezim Suriah semakin percaya diri. Damaskus memperingatkan agar tidak menginternasionalisasikan konflik di Suriah karena justru akan semakin mustahil dihentikan. Selain itu, Suriah menegaskan bahwa tujuan gerakan protes tidak akan tercapai.
Laporan ICG itu juga memaparkan bahwa AS, Israel, Lebanon, Iran, Arab Saudi, dan Turki memang memiliki kepentingan besar untuk membentuk kebijakan luar negeri dan komposisi demografi Suriah di masa depan.
Awalnya, mayoritas demonstran Suriah menganggap tabu intervensi internasional untuk menggulingkan rezim Assad. Namun saat ini di SNC sudah mulai ada perubahan untuk lebih menerima campur tangan asing tersebut.
Dalam wawancara dengan surat kabar Lebanon, al-Mustaqbal, Presiden SNC Burhan Ghalyoun menolak menjelaskan sikapnya dalam masalah intervensi militer asing. Hal ini terjadi karena awalnya dia menyatakan tidak menerima skenario seperti Libya untuk krisis di Suriah dalam kondisi apa pun.
Yang perlu dicatat, Ghalyoun mendeklarasikan bahwa SNC akan secara resmi memutus hubungan dengan Iran dan menghentikan semua pendanaan dan dukungan untuk Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Pernyataan ini untuk merespon sikap Hezbollah yang seakan-akan mendukung rezim Assad. Tapi di sisi lain, pernyataan Ghalyoun juga untuk meyakinkan para pengamat Barat yang menginginkan putusnya hubungan tersebut.
Ghalyoun juga baru-baru ini menegaskan komitmen SNC untuk memulihkan pendudukan Suriah di Dataran Tinggi Golan melalui cara-cara diplomatik. Pernyataan ini merupakan strateginya untuk menegaskan hubungan khusus Suriah dengan kepentingan Eropa dan kekuatan Barat.
Banyak pengamat menduga komentar Ghalyoun itu ditujukan untuk menjamin komunitas internasional tentang kesediaan oposisi Suriah bertindak sesuai keinginan Barat. Menanggapi pernyataan Ghalyoun tersebut, Bassam Haddad, direktur Program Studi Timur Tengah di George Mason University melontarkan pertanyaan, “Mengapa berbagai strategi pemerintahan Suriah demokratis diumumkan sebelum berbagai tujuan kepemimpinan perwakilan (SNC) itu terpenuhi?”
Laporan ICG juga memperingatkan meningkatnya militerisasi oleh oposisi Suriah yang mengubah strategi dari perlawanan non-kekerasan menjadi serangan bersenjata dan manuver militer terkoordinasi selama beberapa pekan terakhir.
Pekan lalu, unit-unit militer desersi yang disebut Angkatan Bersenjata Suriah Bebas (FSA) menyerang kompleks intelijen di luar kota Damaskus. Sejumlah anggota oposisi juga menguasai beberapa wilayah di sebagian Idlib, Hama, dan Homs. Meskipun SNC menjamin pengamat internasional bahwa FSA bertanggung jawab dan terkoordinasi, sepak terjang kelompok militer desersi itu masih tidak diketahui pasti.
“FSA lebih seperti kartu liar daripada entitas yang dapat dikenali,” papar laporan ICG. “Foto-foto yang dirilis FSA, misalnya, menunjukkan aparat Suriah yang mereka tangkap mengalami penyiksaan. Ini merupakan cerita yang mengkhawatirkan.”
Di tengah meningkatnya operasi FSA, kekerasan yang terjadi di Suriah lebih terlokalisasi. Beberapa kota mengalami lingkaran kekerasan yang semakin memburuk, termasuk penculikan, pemerasan, bahkan pemenggalan kepala, yang tidak hanya dilakukan loyalis rezim, tapi juga anggota oposisi.
Meskipun rezim saat ini menawarkan masuknya pengawas asing dan dialog dengan oposisi, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Suriah terus meningkat. Pekan lalu saja korban tewas mencapai 100 orang demonstran.
Dalam wawancara dengan Barbara Walters dari ABC, Presiden Assad menyatakan piahknya tidak bertanggung jawab atas 4.000 korban tewas dalam pemberontakan di Suriah. Assad menegaskan, “Tidak ada pemerintahan di dunia yang membunuh rakyatnya, kecuali negara itu dipimpin orang gila.”
Berbagai pihak akan menerjemahkan kata-kata ini dengan cara berbeda. Namun yang pasti, tidak ada kabar baik dalam beberapa bulan mendatang di Suriah. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar