LONDON- Di tengah berbagai kegiatan untuk mengenang 100 tahun tenggelamnya
Titanic, ada tujuh pelajaran penting yang dapat dipetik perusahaan-perusahaan
yang berkembang pesat.
“Pertama, jangan terjerumus dalam kompetisi.
Titanic berlomba melintasi laut untuk melawan Cunard Line yang membangun
namanya untuk perjalanan cepat dengan kapal-kapal seperti Lusitania,” papar Stephen
Wunker, kontributor majalah Forbes.
Wunker menjelaskan, Titanic merupakan jenis
kapal yang berbeda dibandingkan para kompetitornya. Titanic memiliki ruang
lebih besar dan kemewahan lainnya. Namun tetap saja pembuat kapal itu, White
Star Line, berupaya mengalahkan Cunard dalam hal kecepatan. Padahal Titanic
tidak didesain untuk kecepatan yang tinggi.
“Bagi Titanic, kecepatan menciptakan bahaya
tertentu karena ukuran kapal membuatnya kurang lincah bermanuver. White Star
seharusnya berkonsentrasi pada kekuatan sesungguhnya, daripada harus menuju
pendekatan yang berbahaya dalam berkompetisi di bidang yang lemah bagi
perusahaan,” ungkapnya.
Menurut Wunker, pelajaran kedua yang bisa
dipetik adalah uang menciptakan kesalahan terbesar. “Saat jumlah uang yang
besar dipertaruhkan, sejumlah organisasi memiliki resiko yang lebih besar.
Titanic merupakan aset terbesar White Star dan reputasinya dalam pelayaran
Perdana Menteri (PM) itu dapat memiliki dampak besar bagi masa depan
kesuksesannya,” tuturnya, dikutip Forbes.
White Star lebih fokus pada kecepatan dan
kemewahan tanpa mengantisipasi resiko yang ada. “Seringkali lebih baik untuk
memiliki konsep-konsep baru yang kecil dan mempelajari uji coba dengan matang
untuk tujuan utama. Sayangnya, uji coba Titanic dipercepat dan mencoba
meningkatkan statusnya berdasarkan pelayaran yang beresiko dengan sejumlah
penumpang terkenal,” kata Wunker.
Uang, menurut Wunker, dapat menjadi sebuah
kutukan yang membuat perusahaan berambisi meraih kemenangan besar untuk
membenarkan semua pendanaan yang mereka terima. Namun sebaliknya, dana yang
terbatas dapat menjaga perusahaan tetap fokus dalam mengantisipasi berbagai
resiko utama sehingga mereka dapat menerima keuntungan yang lebih besar di masa
depan.
“Pelajaran ketiga, kapal-kapal yang lebih
besar menjadi lebih lambat. Hukum fisika juga berlaku pada perusahaan: massa
dan kecepatan menciptakan kelembaman,” tutur Wunker.
Setelah bertahun-tahun menjadi konsultan
sejumlah perusahaan tentang strategi pertumbuhan, Wunker mengaku jarang melihat
perusahaan besar yang bergerak cepat, meskipun mereka menginginkannya. “Itu
tidak menjadi masalah, selama pembuatan keputusan diserahkan pada orang yang
dapat cepat bertindak dan perusahaan realistis tentang bagaimana mereka dapat
mengubah suatu keputusan,” ungkapnya.
Jika perusahaan tahu mereka akan bereaksi
lebih lambat dibandingkan lawan yang lebih kecil, mereka dapat melakukan
berbagai eksperimen kecil yang bisa mempercepat, daripada harus berasumsi bahwa
mereka dapat menciptakan perusahaan besar yang bergerak cepat.
“Pelajaran keempat, memiliki sistem
peringatan. Jika Anda ingin bergerak cepat, pastikan Anda memiliki cara yang
baik untuk mengetahui resiko-resiko sejak awal. Sistem Titanic untuk
menghindari gunung es ialah melalui bunyi saat terjadi tabrakan,” katanya.
Menurut Wunker, banyak perusahaan yang
bergerak cepat kurang memperhatikan sinyal peringatan. Mereka tidak menyediakan
jalur yang efisien bagi sinyal-sinyal itu untuk dikomunikasikan dari garis
depan. Mereka biasanya meletakkan indikator kesuksesan pada manajemen atau
investor mereka, tapi mereka jarang membuat indikator kegagalan atau
kemunduran.
“Kelima, ketahui kompetensi Anda. Pendesain
Titanic bertujuan membangun sebuah kapal yang aman, tapi White Star fokus pada
pengalaman konsumen. Itu biasa, orang marketing harus berpikir tentang
pengalaman, daripada yang lain. Sementara insinyur berkonsentrasi pada
bagaimana caranya,” paparnya.
Namun Wunker menekankan, dalam kasus Titanic,
para insinyur terdesak ke elemen-elemen kompromi dalam desain untuk membuat
pemilik senang. “Mengapa memiliki perahu-perahu penyelamat jika mereka
mengacaukan geladak kapal?” tanyanya.
Pelajaran keenam, miliki pembuatan keputusan
yang jelas pada saat krisis. “Pemberian otoritas pada kelompok-kelompok kecil
diperlukan untuk aturan berbeda saat masalah besar timbul. Di Titanic, peluang
untuk mengurangi resiko krisis diabaikan. Kapal dapat melemparkan perahu-perahu
penyelamat lebih awal, mengisinya lebih baik, dan mengirim sinyal bahaya lebih
cepat,” katanya.
Namun kenyataannya, kru kapal tidak yakin
tentang siapa yang seharusnya memberikan perintah, khsusunya saat skala krisis
menjadi nyata. Ada sejumlah resiko bahaya jika mengandalkan rantai komando
biasa saat reaksi cepat sangat diperlukan.
“Pelajaran ketujuh, bencana seringkali
terlihat sepele pada awalnya. Saat menabrak gunung es, penumpang menganggap es
di dek kapal sebagai mainan. Mereka saling melempar bola salju. Awak kapal juga
tidak menyadari skala ancaman,” ungkap Wunker.
Sejumlah perusahaan dapat bereaksi berlebihan
untuk menghadapi ancaman. “Masalah-masalah besar biasanya muncul dari kondisi
yang tak terkira dan memerlukan waktu untuk menyadari kondisi berbahaya,”
katanya.
Wunker memberikan contoh, Kodak
mengkhawatirkan Fuji, bukan pada perkembangan teknologi digital. “Dell fokus
pada HP, bukan pada netbook. MySpace mengabaikan orang-orang yang drop-out dari
Harvard,” tuturnya.
Menurut Wunker, suatu kelompok dapat menjadi
lebih berbahaya saat tidak memahami resiko yang bisa dihadapi. “Perusahaan
harus mengumpulkan berbagai pendapat dan berpikir melalui sejumlah skenario
tentang berbagai kejadian tidak terduga yang bisa terjadi. Seperti halnya bola
salju yang bisa menjadi pertanda tragedi besar,” ungkapnya. (syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar