Delegasi Myanmar untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa tahun lalu komplain bahwa beberapa anggota PBB
tidak menunjukkan penghormatan diplomatik dengan menyebut negara itu Burma,
bukan Myanmar.
Sekarang, sebagian besar diplomat dan
publikasi berita menyebut negara itu Myanmar, sebagai penghormatan pada rezim
baru yang melakukan sejumlah reformasi. Namun apakah memang benar sudah terjadi
perubahan di Myanmar?
Tahun lalu, pemimpin oposisi Myanmar Aung San
Suu Kyi dibebaskan dari puluhan tahun tahanan rumah. Suu Kyi lantas memberikan
pidato di Forum Ekonomi Dunia di Davos atas nama 55 juta rakyat Myanmar yang
selama ini terlupakan. Dia meminta komunitas internasional untuk mendorong
demokratisasi, pembangunan manusia, dan pertumbuhan ekonomi di Myanmar.
Partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)
kemudian menjabarkan sejumlah kebijakan yang diperlukan untuk mempromosikan
perubahan sesungguhnya. NLD menegaskan bahwa berbagai sanksi Barat itu
mengalihkan dari masalah utama di Myanmar, antara lain korupsi, kronisme, dan
penolakan rezim militer menyerahkan kekuasaan ke sipil.
NLD menyatakan, parlemen yang terbentuk
melalui pemilu 2010 didominasi oleh Partai Persatuan Solidaritas dan
Pembangunan bentukan militer. 25% kursi parlemen juga diisi perwakilan militer
yang tidak dipilih melalui pemilu. Menurut NLD, berbagai langkah itu didesain
untuk menjadikan parlemen sebagai forum politik yang menjadikan demokratisasi
di Burma sebagai dagelan.
Setahun kemudian, berbagai laporan perubahan
muncul dari negeri itu. Presiden Myanmar Thein Sein menyebut dirinya sebagai
pemimpin yang ingin memperbaiki kehidupan rakyat, memberantas kemiskinan, dan
memasukkan NLD dalam proses politik.
Dia membentuk Komisi Hak Asasi Manusia dan
melunakkan undang-undang untuk mendorong pembangunan dan investasi asing.
Berbagai kebijakan baru itu muncul pada saat
yang tepat. Ketika berbagai perusahaan internasional banyak yang khawatir
dengan krisis utang Eropa dan lambannya ekonomi Amerika Serikat (AS), mereka
pun berupaya mencari lokasi-lokasi baru untuk dana mereka. Myanmar pun
tiba-tiba muncul sebagai tujuan yang memungkinkan.
Seperti yang diungkapkan chairman Rogers
Holdings yang berbasis di Singapura pada November silam, “Jika Anda dapat
mencari cara untuk berinvestasi di Myanmar, Anda akan menjadi sangat-sangat
kaya pada 20, 30, 40 tahun selanjutnya.”
China dan Thailand saat ini telah mencatatkan
sebagai investor terbesar di Myanmar, mencapai 70% dari total investasi asing.
Bahkan executive vice president Stock Exchange of Thailand menyatakan, “Setiap
perusahaan Barat komplain dengan sanksi-sanksi yang ada. Yang menggembirakan,
di Myanmar ada banyak peluang.”
Mengikuti perkembangan saat ini, delegasi
bisnis AS tingkat tinggi, teramsuk chairman Microsoft Bill Gates akan
mengunjungi negara itu pada Februari, untuk menguatkan hubungan AS dengan
Myanmar yang sejak lama terisolasi. “Para investor Eropa juga tertarik dengan
berbagai sektor, termasuk sumber daya alam dan infrastruktur,” papar Presiden
Kamar Dagang Thailand-Jerman saat membuka Pusat Bisnis Asosiasi Bangsa-Bangsa
Asia Tenggara (ASEAN) – Eropa yang baru di Bangkok, Thailand.
Jelas ada berbagai alasan komersial untuk
optimistis. Apalagi Myanmar sedang mengembangkan kompleks industri dan
pelabuhan di kota pantai Dawei senilai USD8,6 miliar. Kompleks industri dan
pelabuhan itu didesain memiliki wilayah 16 kali lebih besar daripada kompleks
industri terbesar Thailand.
“Yang membuat Dawei menarik ialah Myanmar itu
sendiri. Negara itu tertutup sangat lama dan sekarang pemerintahannya lebih
terbuka. Berbagai perusahaan Thailand melihat banyak peluang karena murahnya
biaya buruh dan banyak sumber daya alam,” tutur Ketua Federasi Industri
Thailand Thanet Sorat.
Di tengah hiruk pikuk berita reformasi yang
diberitakan media internasional, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tampaknya
masih terjadi di beberapa kawasan. Yayasan HAM Monland (HRFM) baru-baru ini
melaporkan meluasnya kekerasan terhadap penduduk di Divisi Tenasserim, Dawei.
“Di desa-desa nelayan sepanjang pantai, unit administrasi Angkatan Laut (AL)
Myanmar meminta uang bulanan pada setiap rumah tangga, memerintahkan
kapal-kapal nelayan membawa staf dan tentara, minta jatah makanan dari penduduk
lokal, dan memaksa warga bertindak sebagai penjaga keamanan,” papar laporan
HRFM.
Tahun lalu, unit AL yang sama dituduh menyita
lebih dari 405 hektar lahan perkebunan karet dan buah-buahan dari petani lokal.
Tidak ada lahan yang mendapat kompensasi atas penyitaan tersebut. “Lebih dari
1215 hektar perkebunan karet telah disurvei untuk disita. Banyak otoritas lokal
mendapat uang dengan memberi ijin untuk menggusur mantan pemilik lahan agar
bekerja sebagai buruh murah di perkebunan mereka yang disita dengan upah
bulanan,” ungkap laporan HRFM.
Buku berbahasa Burma setebal 38 halaman
berjudul Pengambilalihan Paksa Lahan Pertanian dan Kemenangan Sepihak yang
dipublikasikan Jaringan Pembela Hak Petani, menceritakan perjuangan warga desa
melawan berbagai perusahaan yang didukung militer yang mengambil tanah mereka
bagi pembangunan industri.
Komisi Nasional HAM yang dijalankan
Kementerian Dalam Negeri Myanmar, tidak menginvestigasi klaim-klaim yang
disebutkan dalam buku tersebut. “Tidak ada perubahan dan pembangunan nyata
seperti dikatakan pemerintah. Ini karena pelanggaran di tingkat lokal yang
dilakukan oknum militer lokal, yang tidak menghormati perintah dan kekuasaan
pemerintah pusat,” ungkap seorang bekas guru sekolah, dikutip dalam laporan
HRFM.
Perubahan
Nyata atau Semu?
Lantas, apakah perubahan di Myanmar itu sudah
mencapai substansinya? Apakah pemerintahan sipil yang didukung militer itu
menginginkan pengakuan internasional dan reward berupa pencabutan sanksi
ekonomi dan finansial?
Salah satu syarat pencabutna sanksi-sanksi
Barat terhadap rezim Myanmar ialah pembebasan para tahanan politik. Pemerintah
Myanmar telah membebaskan sejumlah tahanan politik. Namun sejumlah pengamat
mengatakan, amnesti yang diberikan itu tidak berdasarkan pada undang-undang
tapi lebih pada keputusan pemimpin.
Menurut Asosiasi untuk Tahanan Politik Burma
(AAPPB), lebih dari 1.000 tahanan politik (tapol) masih dipenjara. Jumlah tapol
sebenarnya tidak diketahui. Tidak ada review independen tentang berbagai
fasilitas penjara, kamp buruh, dan kamp produksi pertanian sejak 2005, saat
Komisi Palang Merah Internasional (ICRC) ditolak aksesnya.
“Meskipun berbagai berita tentang reformasi,
tidak ada undang-undang dan regulasi yang selama ini digunakan untuk membungkam
oposisi, yang telah diubah. Dan tetap ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab
tentang hal itu,” ungkap Nancy Hudson-Rodd, pengamat di Edith Cowan University,
Australia, dalam artikelnya di Asia Times
Online.
Misalnya, ke mana produk-produk kamp penjara
buruh pertanian itu dijual? Apa kompensasi bagi tanah, lahan pertanian, dan
sumber daya alam yang disita pemerintah? Bagaimana masalah hak dan kepemilikan
lahan dibahas, khususnya saat para investor asing berusaha hadir di negara itu?
Memang, pengumuman Suu Kyi bahwa NLD akan
memasuki pentas politik lagi, menambah legitimasi Presiden Thein Sein dan
parlemen. Pernyataan Suu Kyi sejauh ini lebih pada proses demokratisasi yang
terbatas, bukan pada perbaikan kebebasan sipil dan HAM yang menjadi alasan
berbagai sanksi ekonomi diterapkan terhadap Myanmar.
Semua undang-undang di Myanmar disahkan sejak
1988, saat militer dituduh membunuh lebih dari 3.000 pengunjuk rasa
pro-demokrasi. Semua undang-undang itu disahkan melalui keputusan eksekutif,
bukan proses legislatif. Selain itu juga tidak ada pengadilan independen di
Myanmar.
Konstitusi 2008 yang disahkan melalui
referendum, didesain untuk memastikan berlanjutnya dominasi rezim militer.
Siapa sajay ang berbicara menentang rezim, masih beresiko diseret ke penjara.
Media massa juga masih melalui sensor ketat. Perubahan masih marjinal.
Meski ada keinginan menuju demokrasi,
pemerintahan Thein Sein masih tergantung pada militernya yang merupakan salah
satu angkatan bersenjata terbesar di Asia Tenggara, untuk bertahan. Tanpa ada
kemungkinan serius invasi asing, militer masih menjadi kekuatan utama untuk
mengontrol rakyat. Budaya kekebalan hukum juga telah lama ada di Myanmar, di
mana pejabat pemerintah dan personil militer tidak dapat dituntut atau diadili
untuk pelanggaran yang mereka lakukan.
Konstitusi 2008 juga masih mengabadikan budaya
kekebalan hukum dengan memberi jaket amnesti untuk kejahatan serius yang
dilakukan bekas anggota junta, termasuk mantan pemimpin Jenderal Senior Than
Shwe. Konstitusi itu juga menyangkal hak korban atas pelanggaran di masa lalu
karena militer masih berpengaruh dalam pemerintahan Thein Sein. Otoritas masih
membatasi akses untuk mekanisme komplain bagi warga yang haknya dilanggar.
Pendukung NLD Win Tin yang ditahan selama 19
tahun, mengatakan dia tidak melihat perbedaan atau perubahan pada pemerintahan
baru. Menurutnya, Komisi HAM Myanmar serupa dengan yang pernah dibentuk oleh
rezim militer dulu. “Tidak ada perubahan. Jika Anda ke daerah pinggiran, Anda
akan melihat orang miskin yang hak kemanusiaannya dilanggar,” tuturnya.
(syarifudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar