Cari di Sini

Jumat, 03 Februari 2012

Reformasi Myanmar, Nyata atau Semu?



Delegasi Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa tahun lalu komplain bahwa beberapa anggota PBB tidak menunjukkan penghormatan diplomatik dengan menyebut negara itu Burma, bukan Myanmar.

Sekarang, sebagian besar diplomat dan publikasi berita menyebut negara itu Myanmar, sebagai penghormatan pada rezim baru yang melakukan sejumlah reformasi. Namun apakah memang benar sudah terjadi perubahan di Myanmar?

Tahun lalu, pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi dibebaskan dari puluhan tahun tahanan rumah. Suu Kyi lantas memberikan pidato di Forum Ekonomi Dunia di Davos atas nama 55 juta rakyat Myanmar yang selama ini terlupakan. Dia meminta komunitas internasional untuk mendorong demokratisasi, pembangunan manusia, dan pertumbuhan ekonomi di Myanmar.

Partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) kemudian menjabarkan sejumlah kebijakan yang diperlukan untuk mempromosikan perubahan sesungguhnya. NLD menegaskan bahwa berbagai sanksi Barat itu mengalihkan dari masalah utama di Myanmar, antara lain korupsi, kronisme, dan penolakan rezim militer menyerahkan kekuasaan ke sipil.

NLD menyatakan, parlemen yang terbentuk melalui pemilu 2010 didominasi oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan bentukan militer. 25% kursi parlemen juga diisi perwakilan militer yang tidak dipilih melalui pemilu. Menurut NLD, berbagai langkah itu didesain untuk menjadikan parlemen sebagai forum politik yang menjadikan demokratisasi di Burma sebagai dagelan.

Setahun kemudian, berbagai laporan perubahan muncul dari negeri itu. Presiden Myanmar Thein Sein menyebut dirinya sebagai pemimpin yang ingin memperbaiki kehidupan rakyat, memberantas kemiskinan, dan memasukkan NLD dalam proses politik.
Dia membentuk Komisi Hak Asasi Manusia dan melunakkan undang-undang untuk mendorong pembangunan dan investasi asing.

Berbagai kebijakan baru itu muncul pada saat yang tepat. Ketika berbagai perusahaan internasional banyak yang khawatir dengan krisis utang Eropa dan lambannya ekonomi Amerika Serikat (AS), mereka pun berupaya mencari lokasi-lokasi baru untuk dana mereka. Myanmar pun tiba-tiba muncul sebagai tujuan yang memungkinkan.

Seperti yang diungkapkan chairman Rogers Holdings yang berbasis di Singapura pada November silam, “Jika Anda dapat mencari cara untuk berinvestasi di Myanmar, Anda akan menjadi sangat-sangat kaya pada 20, 30, 40 tahun selanjutnya.”

China dan Thailand saat ini telah mencatatkan sebagai investor terbesar di Myanmar, mencapai 70% dari total investasi asing. Bahkan executive vice president Stock Exchange of Thailand menyatakan, “Setiap perusahaan Barat komplain dengan sanksi-sanksi yang ada. Yang menggembirakan, di Myanmar ada banyak peluang.”

Mengikuti perkembangan saat ini, delegasi bisnis AS tingkat tinggi, teramsuk chairman Microsoft Bill Gates akan mengunjungi negara itu pada Februari, untuk menguatkan hubungan AS dengan Myanmar yang sejak lama terisolasi. “Para investor Eropa juga tertarik dengan berbagai sektor, termasuk sumber daya alam dan infrastruktur,” papar Presiden Kamar Dagang Thailand-Jerman saat membuka Pusat Bisnis Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) – Eropa yang baru di Bangkok, Thailand.

Jelas ada berbagai alasan komersial untuk optimistis. Apalagi Myanmar sedang mengembangkan kompleks industri dan pelabuhan di kota pantai Dawei senilai USD8,6 miliar. Kompleks industri dan pelabuhan itu didesain memiliki wilayah 16 kali lebih besar daripada kompleks industri terbesar Thailand.

“Yang membuat Dawei menarik ialah Myanmar itu sendiri. Negara itu tertutup sangat lama dan sekarang pemerintahannya lebih terbuka. Berbagai perusahaan Thailand melihat banyak peluang karena murahnya biaya buruh dan banyak sumber daya alam,” tutur Ketua Federasi Industri Thailand Thanet Sorat.

Di tengah hiruk pikuk berita reformasi yang diberitakan media internasional, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tampaknya masih terjadi di beberapa kawasan. Yayasan HAM Monland (HRFM) baru-baru ini melaporkan meluasnya kekerasan terhadap penduduk di Divisi Tenasserim, Dawei. “Di desa-desa nelayan sepanjang pantai, unit administrasi Angkatan Laut (AL) Myanmar meminta uang bulanan pada setiap rumah tangga, memerintahkan kapal-kapal nelayan membawa staf dan tentara, minta jatah makanan dari penduduk lokal, dan memaksa warga bertindak sebagai penjaga keamanan,” papar laporan HRFM.

Tahun lalu, unit AL yang sama dituduh menyita lebih dari 405 hektar lahan perkebunan karet dan buah-buahan dari petani lokal. Tidak ada lahan yang mendapat kompensasi atas penyitaan tersebut. “Lebih dari 1215 hektar perkebunan karet telah disurvei untuk disita. Banyak otoritas lokal mendapat uang dengan memberi ijin untuk menggusur mantan pemilik lahan agar bekerja sebagai buruh murah di perkebunan mereka yang disita dengan upah bulanan,” ungkap laporan HRFM.     

Buku berbahasa Burma setebal 38 halaman berjudul Pengambilalihan Paksa Lahan Pertanian dan Kemenangan Sepihak yang dipublikasikan Jaringan Pembela Hak Petani, menceritakan perjuangan warga desa melawan berbagai perusahaan yang didukung militer yang mengambil tanah mereka bagi pembangunan industri.

Komisi Nasional HAM yang dijalankan Kementerian Dalam Negeri Myanmar, tidak menginvestigasi klaim-klaim yang disebutkan dalam buku tersebut. “Tidak ada perubahan dan pembangunan nyata seperti dikatakan pemerintah. Ini karena pelanggaran di tingkat lokal yang dilakukan oknum militer lokal, yang tidak menghormati perintah dan kekuasaan pemerintah pusat,” ungkap seorang bekas guru sekolah, dikutip dalam laporan HRFM.

    
Perubahan Nyata atau Semu?
Lantas, apakah perubahan di Myanmar itu sudah mencapai substansinya? Apakah pemerintahan sipil yang didukung militer itu menginginkan pengakuan internasional dan reward berupa pencabutan sanksi ekonomi dan finansial?

Salah satu syarat pencabutna sanksi-sanksi Barat terhadap rezim Myanmar ialah pembebasan para tahanan politik. Pemerintah Myanmar telah membebaskan sejumlah tahanan politik. Namun sejumlah pengamat mengatakan, amnesti yang diberikan itu tidak berdasarkan pada undang-undang tapi lebih pada keputusan pemimpin.

Menurut Asosiasi untuk Tahanan Politik Burma (AAPPB), lebih dari 1.000 tahanan politik (tapol) masih dipenjara. Jumlah tapol sebenarnya tidak diketahui. Tidak ada review independen tentang berbagai fasilitas penjara, kamp buruh, dan kamp produksi pertanian sejak 2005, saat Komisi Palang Merah Internasional (ICRC) ditolak aksesnya.

“Meskipun berbagai berita tentang reformasi, tidak ada undang-undang dan regulasi yang selama ini digunakan untuk membungkam oposisi, yang telah diubah. Dan tetap ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang hal itu,” ungkap Nancy Hudson-Rodd, pengamat di Edith Cowan University, Australia, dalam artikelnya di Asia Times Online.

Misalnya, ke mana produk-produk kamp penjara buruh pertanian itu dijual? Apa kompensasi bagi tanah, lahan pertanian, dan sumber daya alam yang disita pemerintah? Bagaimana masalah hak dan kepemilikan lahan dibahas, khususnya saat para investor asing berusaha hadir di negara itu?

Memang, pengumuman Suu Kyi bahwa NLD akan memasuki pentas politik lagi, menambah legitimasi Presiden Thein Sein dan parlemen. Pernyataan Suu Kyi sejauh ini lebih pada proses demokratisasi yang terbatas, bukan pada perbaikan kebebasan sipil dan HAM yang menjadi alasan berbagai sanksi ekonomi diterapkan terhadap Myanmar.

Semua undang-undang di Myanmar disahkan sejak 1988, saat militer dituduh membunuh lebih dari 3.000 pengunjuk rasa pro-demokrasi. Semua undang-undang itu disahkan melalui keputusan eksekutif, bukan proses legislatif. Selain itu juga tidak ada pengadilan independen di Myanmar.   

Konstitusi 2008 yang disahkan melalui referendum, didesain untuk memastikan berlanjutnya dominasi rezim militer. Siapa sajay ang berbicara menentang rezim, masih beresiko diseret ke penjara. Media massa juga masih melalui sensor ketat. Perubahan masih marjinal.

Meski ada keinginan menuju demokrasi, pemerintahan Thein Sein masih tergantung pada militernya yang merupakan salah satu angkatan bersenjata terbesar di Asia Tenggara, untuk bertahan. Tanpa ada kemungkinan serius invasi asing, militer masih menjadi kekuatan utama untuk mengontrol rakyat. Budaya kekebalan hukum juga telah lama ada di Myanmar, di mana pejabat pemerintah dan personil militer tidak dapat dituntut atau diadili untuk pelanggaran yang mereka lakukan.

Konstitusi 2008 juga masih mengabadikan budaya kekebalan hukum dengan memberi jaket amnesti untuk kejahatan serius yang dilakukan bekas anggota junta, termasuk mantan pemimpin Jenderal Senior Than Shwe. Konstitusi itu juga menyangkal hak korban atas pelanggaran di masa lalu karena militer masih berpengaruh dalam pemerintahan Thein Sein. Otoritas masih membatasi akses untuk mekanisme komplain bagi warga yang haknya dilanggar. 

Pendukung NLD Win Tin yang ditahan selama 19 tahun, mengatakan dia tidak melihat perbedaan atau perubahan pada pemerintahan baru. Menurutnya, Komisi HAM Myanmar serupa dengan yang pernah dibentuk oleh rezim militer dulu. “Tidak ada perubahan. Jika Anda ke daerah pinggiran, Anda akan melihat orang miskin yang hak kemanusiaannya dilanggar,” tuturnya. (syarifudin)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar