Cari di Sini

Senin, 06 September 2010

Ujung Tombak Diplomasi Langsung AS dan Iran

NAMANYA mungkin tidak seterkenal Hillary Clinton yang kini menjadi Menteri Luar Negeri (menlu) Amerika Serikat (AS). Namun tak ada yang dapat menyangkal bahwa Susan Elizabeth Rice, 45, kini menjadi salah satu ujung tombak diplomasi AS di dunia.

Presiden AS Barack Obama dan Hillary telah memilih Rice menjadi Duta Besar (dubes) AS di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penunjukan tersebut telah disetujui Senat AS pada 22 Januari. Itu menjadikan Rice sebagai perempuan Afro-Amerika pertama yang memegang posisi tersebut.

Dia menjadi perempuan pertama yang menjadi Dubes di PBB dalam 12 tahun terakhir. Perempuan terakhir yang menduduki posisi itu ialah Madeleine Albright, yang juga mantan pimpinan Rice.

Sebelumnya, ada tiga pria Afro-Amerika yang menjadi Dubes AS di PBB. Ketiganya ialah Andrew Young pda 1977-1979; Donald McHenry pada 1979-1981; dan Edward Perkins pada 1992-1993.

Berbagai tantangan berat pun langsung dipikulnya, segera setelah dia menetap di kantor barunya di New York. Salah satunya terkait sikap AS terhadap sejumlah negara yang dianggap “musuh”, terutama Iran. Rice menegaskan bahwa Washington saat ini menghendaki “diplomasi langsung” dengan Iran sembari mendorong upaya mengakhiri program nuklir Teheran.

“Dialog dan diplomasi harus terus sejalan dengan pesan sangat keras dari AS dan komunitas internasional bahwa Iran harus memenuhi kewajibannya seperti ditekankan oleh Dewan Keamanan PBB,” tegas Rice.

Masalah lain yang menjadi tanggung jawabnya terkait dengan program nuklir Korea Utara (Korut). AS di PBB selama ini selalu mendorong proses diplomasi untuk menghentikan program pengayaan uranium Pyongyang.

Tantangan lainnya, terkait konflik antara Israel dan Palestina. Rice menghadapi tugas berat di PBB karena berulang kali Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengecam keras serangan militer Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 1.300 warga Palestina. AS sebagai pembela utama Israel tentu akan terus melindungi aliansi terdekatnya itu. Dan di sanalah Rice akan berjibaku melawan negara-negara lain yang selama ini mengecam Israel akibat operasi militernya.

Rice juga memiliki keprihatinan mendalam tentang konflik berlarut di Darfur, Sudan. “Prioritas saat ini ialah untuk melindungi rakyat sipil. Seluruh upaya harus kita kerahkan untuk pengenahan pasukan perdamaian PBB (UNAMID) untuk perlindungan rakyat sipil,” tuturnya.

Mantan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Masalah Afrika pada masa pemerintahan presiden Bill clinton itu bertekad mendorong PBB berperan lebih aktif di pentas dunia. “Mulai dari Balkan hingga Timor Leste, dari Liberia hingga Kashmir, dari Cyprus hingga Dataran Tinggi Golan, PBB selama lebih dari enam dekade telah memerankan peran penting untuk menengahi pertikaian, membantu menyelesaikan konflik dan memperbaiki negara yang hancur karena perang, menyediakan bantuan kemanusiaan, mengelola berbagai pemilu, dan merespon ancaman perdamaian dan keamanan internasional,” paparnya.

Perempuan enerjik itu lahir di Washington DC dan besar di daerah Shepherd Park. Ayahnya, Emmett J. Rice, merupakan profesor ekonomi Cornell University dan mantan gubernur Federal Reserve System. Ibunya, Lois Dickson Fitt, merupakan pakar kebijakan pendidikan.

Rice sudah aktif sejak menjadi mahasiswa. Dia merupakan atlet olahraga, presiden dewan mahasiswa, dan pemberi pidato perpisahan di sekolah khusus perempuan, National Cathedral School, Washington DC. Sebagai atlet, dia menjadi pemain penjaga bertahan dalam tim basket. Karena ketangguhannya sebagai pemain basket, dia mendapat nama panggilan “Spo”, kependekan dari “Sportin.”

Ayahnya selalu memberikan nasehat agar Rice tidak menggunakan ras sebagai alasan atau pun untuk mendapatkan keuntungan. “Sejak masih kecil saya bermimpi menjadi Senator AS pertama dari Distrik Columbia. Tapi saya juga sering diliputi kekhawatiran bahwa prestasi saya akan diabaikan oleh orang-orang yang masih memandang ras saya,” ujar Rice seperti diutarakan pada kantor berita Reuters.

Dengan mimpi itulah Rice terus mengukir prestasi. Dia kemudian masuk ke Stanford University dan menerima Truman Scholarship. Dia lulus dari universitas itu dengan menyandang gelar Bachelor of Arts di bidang sejarah pada 1986. Di hari kelulusan, saat dia berjabatan tangan dengan Presiden Stanford University Donald Kennedy, lelaki itu berkata, “Saya tahu siapa kamu.”

Rice dan mantan Menlu AS Condoleezza Rice merupakan pakar kebijakan luar negeri keturunan Afro-Amerika yang keduanya juga alumnus Stanford University. Kendati demikian, kedua perempuan itu tidak memiliki kaitan keluarga.

Karena prestasinya, Susan Rice mendapatkan Rhodes Scholarship di New College, Oxford, dan mendapatkan gelar M.Phil. pada 1988 dan D.Phil. pada 1990. Rice kemudian emnilah dengan produser ABC News kelahiran Kanada Ian Officer Cameron. Mereka tinggal di Washington DC bersama dua anaknya.

Awal meniti karir, Rice menjadi pembantu kebijakan luar negeri Michael Dukakis pada pemilihan umum presiden AS 1988. Rice juga menjadi konsultan manajemen di perusahaan konsultan manajemen global, McKinsey & Company pada awal 1990-an. Saat di McKinsey, Rice ditugaskan di kantor perusahaan itu di Toronto.

Saat berkiprah dalam pemerintahan Bill Clinton, Rice memegang berbagai posisi. Pada 1993-1997, di Dewan Keamanan Nasional (NSC), sebagai Direktur International Organizations and Peacekeeping pada 1993-1995, dan sebagai Asisten Khusus Presiden dan Direktur Senior Masalah Afrika dari 1995 hingga 1997.

Dalam kampanye presiden 2008, dia menjadi penasehat kebijakan luar negeri Senator Barack Obama. Pada 5 November 2008, Rice ditunjuk sebagai penasehat Proyek Transisi Obama-Biden. (syarifudin, 28 januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar