Cari di Sini

Senin, 06 September 2010

Gadis Pemberani Pendobrak Tabu




USIANYA baru 10 tahun, namun keberanian dan ketajaman penanya mampu mengguncang dunia. Dialah Nojoud Mohammed Ali, bocah perempuan Yaman yang dengan berani membongkar praktek pernikahan anak-anak di negerinya.

Kekuatan narasi yang ditorehkan Nojoud dalam bukunya “Me, Nojoud, 10, divorcee’ bukanlah fiksi atau narasi cerita dari pihak lain karena dialah yang menjadi korban praktek pernikahan anak-anak tersebut. Di usianya yang masih sangat dini itu, dia menjadi janda, setelah bercerai dalam pernikahan di usia delapan tahun.

Buku yang ditulisnya merupakan autobiografi yang dapat dipastikan segera menjadi bestseller dunia. Kemarin, Nojoud masih berada di Paris, Prancis, untuk mempromosikan karyanya tersebut. Puluhan penerbit buku dari Inggris bahkan telah antri untuk memperebutkan hak penerbitan kisah yang menggemparkan dunia tersebut.

Di bukunya, Nojoud dengan lugu menceritakan berbagai kekejaman yang dialaminya saat menjalani pernikahan di bawah umur. Dia dipaksa keluarganya untuk menikah dengan Faez Ali Thameur, 29.

“Saya selalu dipukuli oleh suami saya. Dia tidak tahu apakah pernikahan itu. Saya akan lari dari satu kamar ke kamar lain untuk menghindarinya, tapi selalu berakhir dengan dia menangkap saya dan memukuli saya. Itu kemudian berlanjut seperti apa pun yang diinginkannya. Saya menangis keras tapi tidak seorang pun mendengarkan saya,” kata Nojoud dengan mata berkaca-kaca.

Selama dua bulan menikah, Nojoud mengalami penyiksaan dan “ruda paksa” oleh suami yang berusia tiga kali lebih tua dari umurnya. Karena tidak tahan dengan perlakuan kasar suaminya, Nojoud melarikan diri dari rumah suaminya, naik taksi dan pergi ke kantor pengadilan sendirian.

Dia mendapat bantuan sejumlah kelompok pembela hak asasi perempuan dan persidangan kasusnya digelar tahun lalu. Media massa internasional ikut meliput kasusnya sehingga dia dikenal di penjuru dunia.

“Saya bertemu Nojoud secara kebetulan di pengadilan dan saya menangani kasusnya. Dia lari sendirian di pengadilan. Polisi dan pegawai di sana kemudian bercerita pada saya tentang kondisi Nojoud,” ujar Shatha Nasser yang kemudian menjadi pengacara Nojoud.

Nojoud mencatat sejarah baru karena ini merupakan persidangan pertama di mana hakim memutuskan membatalkan pernikahan gadis berusia 10 tahun dengan pria yang berusia tiga kali lebih tua.

Kasusnya menjadi bahan diskusi hangat para aktivis hak asasi manusia, anggota parlemen dan pengacara terkait Undang-undang Pernikahan Yaman. Bahkan tokoh-tokoh dunia seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton, mantan Menlu AS Condoleezza Rice atau pun aktris Nicole Kidman, ikut menyatakan keprihatinannya atas nasib Nojoud.

Dalam undang-undang pemerintah Yaman, usia minimal seorang perempuan untuk menikah ialah 15 tahun. Sayangnya, orangtua di sana mengijinkan terjadinya pelanggaran atas peraturan tersebut jika mereka menganggap putrinya telah “siap” berumah tangga. Praktek semacam itu bahkan telah menjadi budaya yang marak terjadi. Karena itu, salah satu negara termiskin di dunia itu sangat masyur dengan praktek pernikahan di bawah umur. Bahkan, perempuan yang menikah di usia lebih dari belasan tahun dianggap tabu.

Keluarga Nojoud pun mempraktekkan budaya tersebut. Nojoud dipaksa menikah dan hidup bersama pria bernama Faez Ali Thameur. Bocah perempuan itu pun terpaksa hidup serumah dengan laki-laki yang harus dipanggil sebagai suami. Padahal jiwa Nojoud masih ingin bebas seperti anak-anak lain, ingin bersekolah dan bermain bersama teman-teman lainnya.

“Saya merasa harus menikahkan putri saya setelah berulang kali mendapatkan ancaman dari calon suami dan kerabatnya Faez,” kata ayah Nojoud, Mohammad Ali Al-Ahdal, yang seorang pengangguran. Himpitan ekonomi yang tak terelakkan membuat Ali mau tidak mau harus menikahkan Nojoud.

Ali juga mengaku terpaksa menikahkan Nojoud karena tidak ingin mengulangi pengalaman buruk yang pernah menimpanya. “Putri tertua saya pernah diculik beberapa tahun silam dan dia dipaksa menikah oleh penculiknya,” ujar Ali terbata-bata.

Keterangan senada diungkapkan Nojoud. “Ayah saya memukuli saya dan mengatakan pada saya bahwa saya harus menikahi pria itu. Jika tidak, saya akan diperkosa dan tidak ada undang-undang atau pemuka agama di negeri ini akan membantu saya. Saya menolak tapi saya tetap tidak dapat menghentikan pernikahan itu,” papar gadis cilik itu.

Menurut Shatha Nasser, pernikahan anak-anak sangat umum terjadi di Yaman, namun kasus ini mendapat perhatian dari penjuru dunia karena telah sampai ke pengadilan. “Kami sangat berterima kasih pada hakim karena memutuskan membatalkan pernikahan. Karena jika tidak, Nojoud bisa kembali dibawa ke rumah suaminya,” ujar Shatha Nasser.

Nasser menambahkan, ada ribuan bocah perempuan bernasib sama seperti Nojoud di Yaman. Berdasarkan data statistik yang dirilis International Center for Research on Women pada 2007, lebih dari 48% gadis di Yaman menikah sebelum berusia 18 tahun.

Mereka dipaksa menikahi laki-laki yang usianya jauh lebih tua padahal mereka belum memasuki masa puber. Seringkali, gadis-gadis cilik itu hanya menjadi pelampiasan nafsu seksual dan mendapatkan perlakuan kejam dari suaminya.

Karena keputusan pengadilan itu, keluarga Nojoud mengembalikan USD250 (Rp2,9 juta) yang menjadi mahar pernikahannya pada “mantan suaminya”. Sejumlah pihak menilai, pengembalian uang itu tidak buruk, namun jika diamati lebih cermat, itu sangat menguntungkan Faez Ali Thameur yang selama dua tahun meruda paksa gadis berusia 8 tahun, lalu uang mas kawinnya dikembalikan karena dianggap sebagai bentuk “pembelian yang salah”.

Nojoud saat ini merasa sangat bahagia karena dia dan adik kandungnya yang masih berusia delapan tahun, Hifa, dapat kembali bersekolah. “Saya bahagia bahwa saya telah bercerai sekarang. Saya juga berterima kasih pada bantuan dana dari para aktivis hak asasi manusia,” kata Nojoud dengan wajah merona ceria.

Kini tekad Nojoud hanya satu. “Sekarang saya ingin kembali bersekolah sehingga saya bisa menjadi seorang pengacara dan membantu anak-anak perempuan lain yang bernasib seperti saya,” papar Nojoud saat mengunjungi Pantin, wilayah pinggiran Paris, kemarin.

Sayangnya, bersekolah kembali atau pun memulai hidup baru, bukanlah hal yang mudah bagi Nojoud. Dia masih menerima perlakuan diskriminatif saat pengawas sosial di sebuah sekolah—setara sekolah dasar (SD) di Indonesia—menolak menerima pendaftarannya. Pengawas sosial di sekolah itu takut bahwa Nojoud akan mempengaruhi dan membahayakan pelajar lain di sekolah tersebut.

Menurut pihak sekolah tersebut, Nojoud dianggap telah paham dengan masalah seksual dan mungkin akan berbagi cerita dengan teman-teman satu kelas dan membuat mereka lebih cepat dewasa.

Namun penolakan itu tidak menyurutkan tekad Nojoud untuk kembali bersekolah. Nojoud terus mencari sekolah yang bersedia menerimanya. Akhirnya dia menemukan sekolah Njala Al-Matri di Rwadha, utara Sana’a, yang bersedia menerimanya. Sekolah itu sangat menghargai para pelajar perempuan dan tidak masalah untuk menerima Nojoud sebagai salah satu siswa mereka.

Nojoud saat ini berada di kelas dua SD Njala Al-Matri tersebut bersama adik kandungnya.
“Saya sangat bersemangat dan bahagia,” ucap Nojoud dengan senyum lebar di wajah, saat hendak memasuki ruang kelas barunya bersama Hifa. Keduanya mengenakan seragam sekolah, baju panjang warna hijau dengan kerudung warna putih. Tas baru warna coklat menggantung di pundak mereka. (syarifudin, sindo 5 februari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar