Terguling dan tewasnya pemimpin Libya Muammar
Khadafi ternyata bukan akhir dari kekerasan di negeri itu. Keberadaan berbagai
kelompok milisi bersenjata menjadi ancaman baru bagi stabilitas dan keamanan
Libya.
Proses transisi menuju demokrasi tampaknya
tidak semudah yang diharapkan. Libya harus memasuki babak baru perang sipil
pasca rezim Khadafi. Pertempuran antara milisi semakin sering terjadi di negeri
yang hancur akibat perang sebelumnya. Baku tembak antar milisi itu terjadi
untuk memperebutkan wilayah yang tak memiliki pemerintahan lokal yang kuat.
Pemerintahan sementara Libya hanya kuat di
daerah-daerah tertentu, terutama Tripoli dan Benghazi. Sedangkan kawasan lain
yang sangat luas di negara itu berada di tangan para milisi bersenjata, baik
itu milisi pendukung atau penentang Khadafi. Pemerintah Libya seakan tak
berdaya mengendalikan milisi-milisi bersenjata itu, karena tentara resmi masih
sangat lemah dan tidak terlatih.
Hingga saat ini, suara tembakan dan bom masih
terdengar di tengah kesunyian malam di Tripoli. Banyak warga Tripoli juga
mengeluhkan meningkatnya pencurian, pembunuhan, perampokan dan perkelahian di
mana-mana. Jika kondisi ini terjadi di Tripoli, tentu keadaan lebih buruk
terjadi di kawasan lain yang tidak memiliki pengamanan yang memadai.
Situasi miris itu membuat banyak pihak
khawatir, periode transisi ini menuju negara gagal, bukan negara demokratis,
seperti yang dijanjikan Barat saat menggulingkan Khadafi. “Di sana tidak hanya
terjadi bentrok antara milisi yang bersaing, tapi banyak laporan kejahatan di
ibu kota dan saya pikir ini karena orang-orang mulai resah dengan lambatnya
perbaikan di negeri ini,” tutur diplomat Barat pada Reuters.
Berbagai kelompok bersenjata yang merasa sudah
bekerja keras menggulingkan Khadafi, menolak menyerahkan persenjataan mereka
pada pemerintahan baru. Mereka berdalih masih curiga dengan pemerintahan baru
Libya. Padahal persenjataan para milisi itu sangat beragam, mulai dari pistol,
granat, mortir, senjata anti pesawat dan anti tank, hingga tank-tank yang
mereka rebut dari rezim Khadafi.
Dengan persenjataan yang mereka miliki, milisi-milisi
itu menjadi penguasa-penguasa baru di berbagai wilayah. Karena itu, pertempuran
perebutan wilayah antara milisi telah menjadi berita sehari-hari di negara itu.
Berbagai kelompok milisi itu juga memiliki
sejumlah fasilitas penjara untuk menahan orang-orang yang dianggap sebagai
lawan. Milisi-milisi itu mengklaim penjara mereka untuk menahan para pendukung Khadafi. Namun muncul
laporan bahwa berbagai fasilitas tahanan itu digunakan untuk menahan dan
menyiksa warga sipil.
Pekan ini, pasukan dan milisi pro-pemerintahan
baru Libya kehilangan kontrol di Bani Walid, basis pendukung Khadafi. Itu terjadi
setelah warga Bani Walid bangkit melakukan pemberontakan bersenjata untuk
melawan otoritas Dewan Transisi Nasional (NTC) yang memegang otoritas sementara
di Libya. Aksi bersenjata itu memaksa pasukan NTC keluar dari Bani Walid.
Tetua di Bani Walid menegaskan, mereka memilih
pemerintahan lokal sendiri dan menolak intervensi apapun dari otoritas di
Tripoli. Pemberontakan di kota yang berada 200 kilometer tenggara Tripoli ini
jelas semakin melemahkan pemerintahan baru Libya.
Sementara, konflik baru juga terjadi antara
kota Assabia dan Gharyan, 50 mil selatan Tripoli. Warga di Assabia dan Gharyan
merasa tidak aman untuk beraktivitas di kota mereka sendiri. Warga melaporkan
terjadinya perkelahian bersenjata tajam di sebuah pasar di sepanjang jalan yang
menghubungkan kedua desa tersebut.
Milisi di kedua kota itu segera mengerahkan
pasukannya, memblokir jalan utama dan bertempur selama tiga hari. Dalam
pertempuran itu dua kelompok milisi saling mengerahkan mortir, bom, dan roket
GRAD yang memiliki panjang 9 kaki.
Selama pertempuan, dewan militer Gharyan
menyatakan bahwa baku tembak terjadi untuk melawan pasukan pro-Khadafi yang
masih bersembunyi di Assabia. “Assabia dan kami bersaudara, tapi karena
keberadaan pejuang Khadafi, kami memiliki masalah,” tutur juru bicara dewan
militer Gharyan, Ismail al-Ayeb.
Dia mengklaim lebih dari 1.000 pasukan
pro-Khadafi berada di Assabia, kota yang hanya dihuni 50.000 jiwa. Ismail juga
menunjukkan dokumen yang berisi puluhan ribu persenjataan yang menurut dewan
militer Gharyan berada di Assabia. Namun kebenaran klaim tersebut belum dapat
diverifikasi. Bisa jadi, dokumen itu hanya pembenaran untuk menyerang Assabia.
Di Assabia, cerita lain terungkap. Menurut
warga Assabia, beberapa penduduk yang tidak terlibat pertempuran telah diculik
dan disiksa, satu tewas, akibat kekejaman milisi dari Gharyan. “Kami bukan
pendukung Khadafi. Gharyan hanya ingin membenarkan upayanya menyerang kami,”
tegas Ibrahim Mohammed, 23, yang membalut kepalanya dengan perban dan tampak
luka memar akibat dipukuli dengan rantai besi di Gharyan.
“Saya berada di jalan menuju ibu kota dan saya
dihentikan milisi Gharyan. Mereka bertanya saya berasal dari mana dan saat saya
bilang Assaiba, mereka memaksa saya keluar dari mobil. Saya dipukul dengan senjata
dan mereka membawa saya ke pangkalan militer,” tutur Ibrahim di rumah sakit di
Assabia. Dia baru dibebaskan setelah ada kesepakatan damai yang dimediasi NTC.
“Saya mengenali mereka dari dewan militer di
Gharyan. Selama saya diinterogasi, saya melihat komandan militer kami
tergeletak di lantai berkubang darah. Dia sulit bernafas dan mereka mengikatkan
tiang besi ke lengan dan kakinya dan mengalirinya dengan listrik,” ungkap
Ibrahim yang mengaku kakinya dipukul dengan besi dan jari-jarinya dijepit dengan
batang besi. Darah merembes keluar dari jari-jarinya selama wawancara dengan
Reuters.
Cerita itu hanya satu dari ratusan bahkan
ribuan kisah mengerikan tentang konflik sipil di Libya yang terjadi sekarang.
Sejauh ini, NTC berusaha keras melakukan mediasi dan mengakhiri berbagai
konflik antara milisi di Libya. Namun tindakan NTC itu tidak memberikan jaminan
bahwa stabilitas sudah tercapai.
NTC sendiri mengakui pihaknya tidak dapat
mencegah pertempuran antara milisi dan kesulitan mencegah peningkatan kekerasan
serta kejahatan. “Libya sedang melakukan transisi dari perang menuju damai dan
berusaha mengatasi apa yang terjadi. Setelah melalui apa yang terjadi di Libya,
negara manapun akan memiliki masalah yang sama. Rakyat juga menyadari bahwa
negara ini membutuhkan waktu untuk penegakan hukum,” ungkap diplomat Barat yang
terlibat dalam gerakan untuk membentuk komite rekonsiliasi dan pencari fakta
untuk mendokumentasikan kejahatan perang yang terjadi selama perang sipil di
Libya.
Pasar
Senjata Ilegal di Afrika Meluas
Perang sipil antara milisi yang saat ini
terjadi itu hanya sebagian kecil dari masalah Libya pasca-Khadafi. Penyebaran
senjata yang sangat bebas dan tak terkendali, menjadi kekhawatiran baru
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Laporan terbaru PBB yang dirilis pekan ini
menunjukkan, perang sipil di Libya membuat berbagai kelompok militan di kawasan
Sahel, Afrika, seperti Boko Haram dan Al Qaeda memiliki akses yang besar untuk
mendapatkan persenjataan. Boko Haram diduga terkait sayap Al Qaeda di Afrika
Utara. Boko Haram dituduh menewaskan lebih dari 500 orang pada tahun lalu dan
lebih dari 250 orang tahun ini di Nigeria.
Laporan PBB menjelaskan dampak perang sipil
Libya terhadap negara-negara di kawasan Sahel, yakni Nigeria, Niger, dan Chad. Dewan
Keamanan PBB saat ini membahas laporan yang disiapkan oleh tim kaji cepat PBB
yang menemui para pejabat dari negara-negara tersebut.
Diskusi Dewan Keamanan PBB menyorori perbedaan
tajam antara negara-negara Barat dan Rusia terkait intervensi NATO di Libya.
“Pemerintah di berbagai negara itu mengindikasikan bahwa, meskipun ada upaya
mengontrol perbatasan mereka, persenjataan dan amunisi dalam jumlah besar
mengalir dari Libya yang diselundupkan ke kawasan Sahel,” papar laporan PBB
tersebut. “Berbagai senjata itu termasuk granat berpelontar roket, senjata
mesin anti pesawat, senapan otomatif, amunisi, granat, bahan peledak (Semtex),
dan artileri anti-pesawat ringan yang dipasang di kendaraan.”
Laporan itu juga mengungkap bahwa persenjataan
canggih seperti rudal dari darat ke udara dan sistem pertahanan udara portable
yang disebut MANPADS juga mungkin telah dimiliki berbagai kelompok militan di
kawasan Sahel.
Utusan Khusus PBB untuk Libya Ian Martin juga
telah memperingatkan Dewan Keamanan bahwa Libya telah kehilangan simpanan
MANPADS yang sebelumnya masih banyak berada di negara tersebut.
Laporan PBB itu mengungkapkan, sejumlah negara
yakin persenjataan itu diselundupkan ke Sahel oleh mantan pejuang di Libya,
baik itu tentara resmi ataupun penjuang pendukung Khadafi. Beberapa negara
menyatakan pada tim kaji cepat bahwa mereka telah mendata peningkatan
perdagangan senjata lintas Afrika Barat.
“Beberapa persenjataan mungkin disembunyikan
di gurun dan dapat dijual pada berbagia kelompok seperti Al Qaeda di Islamic
Maghreb, Boko Haram atau organisasi kejahatan lainnya,” ungkap laporan PBB.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan
Politik Lynn Pascoe menjelaskan pada Dewan Keamanan bahwa pemerintahan baru
Libya menyadari banyak masalah terkait persenjataan dan pasar senjata ilegal di
Sahel, yang berlangsung sejak Khadafi masih berkuasa. “Beberapa masalah itu
terkait langsung dengan tergulingnya Khadafi di Libya, tapi sebagian besar
masalah terjadi sejak lama,” katanya.
Delegasi Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat
(AS) di PBB juga berpendapat masalah perdagangan senjata ilegal di Afrika itu
terjadi jauh sebelum perang sipil Libya. Namun Rusia menegaskan bahwa laporan
PBB tentang persenjataan ilegal di Afrika merupakan konsekuensi nyata krisis
Libya. Rusia merupakan pengecam utama intervensi NATO di Libya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar